إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٣٥ فَلَمَّا وَضَعَتۡهَا قَالَتۡ رَبِّ إِنِّي وَضَعۡتُهَآ أُنثَىٰ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰۖ وَإِنِّي سَمَّيۡتُهَا مَرۡيَمَ وَإِنِّيٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ ٣٦
“(Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang salih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.’ Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah Ta’ala lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari setan yang terkutuk”. (QS. Ali Imran, 35-36).
“Kacang manut lanjaran”, bahwa seseorang itu mengikuti orang tuanya. Peribahasa Jawa yang biasa diungkapkan kepada seseorang atas perilakunya. Dimana orang tuanya diikutkan dalam perilaku anak anaknya. Bersyukurlah jika yang terungkan adalah kebaikannya, dan mintalah perlindungan dan istighfar jika sebaliknya.
Saat menguji mahasiswa masuk perguruan tinggi dakwah, sebagai pembuka wawancara, saya selalu mengajukan pertanyaan, “Apakah ayah saudara suka ke Masjid, atau ibu saudrara ikut pengajian di Majlis Taklim?”. Pertanyaan pembuka, yang jika dijawab “Ya”, maka saya semangat untuk mengajukan pertanyaan yang bernada motivasi. Agar jika nanti diterima dapat melanjutkan kebaikan yang telah dimualai dari orang tuanya, dan ini adalah bentuk birrul walidain.
Tesisnya, sederhana mengacu pada ayat Ali Imran, dan secara sosiologis merujuk pada “sanepo” peribahasa Jawa diatas. Mewarisi tidak saja dimaknai dalam kontek material, tetapi juga dalam hal siafat dan kepribadian. Sebagaimana Istri Imran, mrngharap agar sang anak juga mewarisi semangat dan nilai perjuangan, sebagai pribadi yang berkhitmat kepada Allah.
“Titisan” ungkapan yang bermakna terkoneksinya seorang pribadi dengan orang tuanya, dalam berbagai hal. Dalam lapangan dakwah, seorang juru dakwah, jika ditelursuri, mungkin saja memiliki hubungan DNA dengan orang-orang yangblebih dulu hidup dari kalangan orang tua. Tugas orang tua adalah membina potensinya, sehingga memiliki kesamaan dengan kondisi orang tua. Mungkin juga bisa dibuatkan hipotesa, membina anak diluar sifat dan karakter orang tua akan menimbulkan ketidak nyamanan. Mengapa? Sang anak tidak cukup memiliki in-put kearah itu. Walupun, “namannya juga usaha”, harus diperjunagkan dan dituntaskan, penuh pengorbanan.
Lebih lagi jika kita melihat hadist berikut ini,
أن أم سليم حدثت؛ أنها سألت نبي الله صلى الله عليه وسلم عن المرأة ترى في منامها ما يرى الرجل. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “إذا رأت ذلك المرأة فلتغتسل” فقالت أم سليم: واستحييت من ذلك. قالت: وهل يكون هذا؟ فقال نبي الله صلى الله عليه وسلم “نعم. فمن أين يكون الشبه. إن ماء الرجل غليظ أبيض. وماء المرأة رقيق أصفر. فمن أيهما علا، أو سبق، يكون منه الشبه”.
Bahwasannya Ummu Sulaim pernah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabiyullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang bermimpi sebagaimana mimpi yang dialami oleh laki-laki. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila ia melihat yang demikian, hendaklah ia mandi”. Ummu Sulaim berkata (kepada perawi) : “Sebenarnya aku malu menanyakan hal tersebut”. Ia kembali bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mungkinkah hal itu terjadi (pada diri seorang wanita) ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya. (Jika tidak), maka darimana adanya penyerupaan (seorang anak kepada orang tuanya) ?. Sesungguhnya air mani laki-laki kental lagi berwarna putih, sedangkan air mani wanita encer dan berwarna kekuning-kuninganan. Siapa saja di antara keduanya yang mengalahkan atau mendahului dari yang lain, maka akan terjadi penyerupaan (dari si anak) terhadap dirinya” [HR. Muslim no. 311].
Perjuangan untuk mewujudkan keturunan dengan titisan sebagai juru dakwah memang tidak mudah, apalagi setiap zaman selalu memiliki nilai yang kurang selaras dengan cita cita itu. Paradigma materialistis menjadi fenomena alat ukur eksistensi kehidupan. Semuanya serba hedonis, dengan alasan, kita hidup di dunia. Juru dakwah menjadi pilihan terakhir dalam rumah tangga. Alasannya, karena tidak dapat, atau susah memberikan kepuasan hidup. “Hidup ini harus bisa dihitung”, katanya. Padahal saat sesuatu itu bisa dihitung, menandakan sesuatu itu bisa berkurang dan habis.
Emang dakwah dagangan tak terbatas? Buktikanlah sendiri, biar percaya. Keturunan yang baik, adalah karunia untuk mewujudkan proses dakwah saat ini.