وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrahim, 34)
Banyak maunya, ciri manusia normal. Semuanya diberikan Allah, hanya perlu kesabaran. Adakalanya dicicil sedikit demi sedikit sesuai keperluan, dan kadang banyak tak terhingga.
Pemberian itu malah tak mungkin lagi dihitung oleh manusia. Melebihi keperluan mereka sendiri, dan akhirnya tumpah serta mubadzir. Ternyata, tidak semuanya dapat dimanfaatkan.
Antara nikmat dan kemampuan tidak seimbang. Waktu dan fisik terbatas, demikian juga dengan pemikiran dan konsep kelanjutannya. Astaghfirullah!
Rasulullah menyampaikan pesan yang indah, mewakili nikmat yang sangat mulia, tapi malah menjadi sering dilupakan manusia.
Sebabnya? Karena mungkin sudah dianggap biasa dan salah hitung. Manusia terjebak, hanya menghitung nikmat yang sifatnya material, yang kelihatan, bertambah dan berkurang.
Padahal keimanan, keislaman, bahagia, keberanian, pengorbanan adalah nikmat yang tak terhingga. Nikmat yang sifatnya bathin, ternyata memang lebih banyak dan tak mungkin dihitung.
Kesehatan dan waktu, adalah sebagian nikmat yang suka terlupakan untuk dihitung. Mau menghitung nya, pasti susah dan rumit. Hingga, malah dilupakan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)
Baru sadar saat sudah sakit, bahwa ternyata sehat itu mahal. Demikian juga baru mengerti bahwa waktu yang ada harus dimaksimalkan, saat petang sudah datang.
Fisik berkurang, waktu sudah gelap. Perlu cahaya yang menerangi. Untung jika saat sehat dan muda telah memanfaatkan ke jalan yang baik, pasti saat kondisi telah berubah itu akan tetap istiqamah di jalan yang baik.
Raga dan jiwa sudah terbiasa melakukan syukur nikmat itu sejak awal. Manfaatkan yang masih ada dan semoga bisa maksimal.
Bekasi, 15/2/23
Sumber : Catatan Ust. Ahmad Misbahul Anam