TIMBANG TERIMA DA’WAH; Tjokroaminoto, Natsir, Habibie
Oleh Wildan Hasan
NatsirCorner
Bapak para Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Zakaria ‘alaihissalam, adalah dua di antara para Nabi yang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berharap dianugerahi keturunan. Keturunan untuk melanjutkan tugas risalah menda’wahi manusia agar beribadah kepada Allah SWT dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Dalam satu kesempatan wawancara, tokoh pendidikan nasional Mohammad Natsir mengistilahkannya dengan “Yahya-Yahya Baru”. Yahya yang melanjutkan da’wah ayahnya, Zakaria.
Tugas da’wah adalah amal berkelanjutan. Berketerusan sampai Kiamat. Umur manusia terbatas tapi umur da’wah sepanjang masa. Karena itulah para da’i ilaLlah selalu menyiapkan kader pelanjut da’wah. Kader biologis maupun ideologis. Biologis (sekaligus ideologis) seperti Ismail, Ishak dan Yahya. Ideologis, bukan keturunan langsung, bukan anak kandung tetapi mewarisi ruh da’wah dan melanjutkan perjuangan da’wah.
Dalam bukunya” Fiqhud Da’wah”, M. Natsir menulis satu peristiwa di tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, kisah semacam penyerahan tongkat da’wah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada para Sahabat. Kisah ini kemudian dikenal dengan istilah “Timbang Terima Da’wah”. Dalam bukunya hanya ditulis “Timbang Terima”.
Setelah Rasulullah menyiapkan kader pelanjut da’wah, tibalah waktu perpisahan. Rasulullah adalah manusia yang juga mendapatkan takdirnya. Beliau wafat setelah tugas kerasulannya selesai. Di Arafah saat itu, beliau memberikan banyak nasehat untuk meneguhkan materi dan pengalaman kaderisasi 20 an tahun sebelumnya. Sampai beliau meminta kesaksian para Sahabat bahwa beliau telah menyampaikan amanah (Risalah Islam).
Dan terjadilah proses timbang terima da’wah. Rasulullah bersabda; “Maka hendaklah yang telah menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barangsiapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya”. Inilah ‘proklamasi’ penyerahan estafeta perjuangan da’wah. Rasulullah sudah purna, lanjutkan oleh Sahabat. Sahabat sampaikan da’wah kepada generasi berikutnya dan begitulah seterusnya. “Di sinilah Risalah bertimbang terima dengan Da’wah”, tutup Natsir.
Kuntowijoyo, salah seorang murid Natsir dalam bukunya “Muslim Tanpa Masjid” (2001), menutur tentang tiga tonggak sejarah umat yang termanifestasi pada sosok Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Mohammad Natsir dan Baharuddin Jusuf Habibie. Kunto menyebutkannya terkait uraian tentang tiga zaman, yaitu umat sebagai wong cilik, umat sebagai warga negara dan umat sebagai warga dunia.
Bagi Kunto, Tjokroaminoto adalah representasi pemimpin sejati bagi wong cilik di masa kolonial dengan Sarekat Islamnya. Natsir berkiprah di masa nasionalisme menjadi paradigma utama bernegara dengan Masyumi sebagai kendaraan politik berbasis massa Santri. Sementara Habibie merupakan pemimpin di masa dunia telah terglobalisasi. Ia bersama ICMI masuk dan diterima kelas menengah merintis jalan kekuasaan melalui iptek berdasar imtak. Islam berpanggung pada sejarah politik Indonesia.
Timbang terima da’wah Natsir terima dari Tjokroaminoto tersimbolkan dari pertemuan keduanya secara ‘tak sengaja’ di kereta Bandung-Jakarta. Pertemuan yang memberikan kesan mendalam bagi Natsir. Kunto menyebut, Masyumi bukan saja mewarisi ideologi Tjokroaminoto, tetapi Masyumi juga mewarisi musuh Tjokroaminoto, yaitu PKI. Sementara itu, Habibie menerima amanah kepemimpinan umat dari Natsir saat Natsir berkirim surat kepada Habibie beberapa pekan paska terpilihnya Habibie sebagai Ketua Umum ICMI. Natsir mengucapkan selamat, berharap supaya ICMI bermanfaat untuk umat, dan doa semoga ICMI mendapat ridho Allah. Kunto menafsirkan, surat itu simbol penyerahan tongkat Natsir kepada Habibie.
Setelah era Habibie, siapakah pemimpin umat saat ini? Adakah Habibie pernah menyerahkan tongkat kepemimpinan umat kepada seseorang? ‘Ala kulli hal, ada atau tidak ada pemimpin kharismatik yang diakui, disegani dan diikuti oleh semua kalangan, da’wah harus tetap berlanjut. Ustadzunal Fadhil Syaikh Syuhada Bahri mengajak kita semua dengan slogannya, “Selamatkan Indonesia dengan Da’wah!”. Semoga di kemudian hari dari rahim umat lahir Tjokro baru, Natsir baru dan Habibie baru. Kebaruan yang merawat semangat dan nilai masa lampau yang baik untuk masa depan yang terang gemilang.
Allahu a’lam