أُبَلِّغُكُمْ رِسَٰلَٰتِ رَبِّى وَأَنَا۠ لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ
Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu”. (QS. Al-A’raf, 68)
Mubaligh, nama yang umum bagi juru dakwah. Dalam definisi sosiologis, mubaligh biasanya amat terkait dakwah yang sifatnya besar, artinya dihadiri oleh sekian banyak audien dengan fasilitas podium sebagai tempat sang mubaligh untuk menyampikan pesan. Tentu dengan alat pengeras suaranya.
Seorang mubaligh biasanya dihadirkan oleh panitia khusus dalam satu komunitas jamaah, atau boleh jadi di “undang” oleh lembaga, badan swasta aatu negeri dalam peringatan hari besar dan hari jadi. Waktunya ditentukan demikian juga temanya. Kadang dirindukan dan dijadikan ajang silaturahmi.
Sang mubaligh bukan orang tempatan, bukan pribadi yang tinggal dikawasan dimana dia hidup. Seakan dia berceramah dengan isi yang tidak ada kaitan secara khusus persoalan yang terjadi di komunitas tersebut. Hal tersebut dapat dijelaskan, karena setelah acara selesai sang mubaligh pemitan pulang, dan dia tidak ada didaerah tersebut begitu subuh datang. Namanya dikenang karena pesan-pesan bijaknya, namun sosoknya tak dapat dilihat ulang sebagai kawan bersama di Masjid.
Begitulah, istilah “muballigh” dipahami secara sosial. Tapi apakah seperti itu sejatinya hakekat mubaligh tersebut. Ternyata, mubaligh disebutkan Allah dalam ayat-ayatNya, termasuk ayat diatas. Mubaligh memiliki karakteristik yang khas dan kuat. Tugasnya berat, dengan karakter yang biasa ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul. Ia tidak sekedar menghibur dengan kelucuannya, namun menyampiakn pesan Allah yang berbobot, sebgaimana penjelasan tafsir terhadap ayat diatas,
“Aku sampaikan kepada kalian apa yang Tuhanku mengutusku kepada kalian dengannya, dan aku bagi kalian (dalam apa yang aku dakwahkan kepada kalian dari tauhidulloh dan melaksanakan syariatNya) hanyalah sebagai pemberi nasihat yang menjaga wahyu dari Allah” .
Karakteristik mubaligh yang khas adalah sifat ‘amiin’. Dia terpercaya sebagai pembawa risalah Allah. Mana-mungkin akan mencerahkan apabila tidak dapat dipercaya. Rasulullah disiapkan menjadi manusia terpercaya sebelum diangkat menjadi Rasul. Dari sifat amanah tersebut masyarakat menjamin sang mubaligh sebagai pribadi yang patut diteladani. Baik kata-katanya maupun perbuatannya.
Maka, jika mubaligh hanya di ‘pakai’ dalam suatu acara, dengan tujuan ceramah saja, maka menjadi kurang manfaat. Model pembinaan masyarakat dengan pendekatan seperti diatas harus segera di evaluasi agar dakwah ini menjadi efektif. Jangan sampai acara yang ‘mahal’ tersebut menjadi sia-sia. Karena sang mubaligh tidak hadir secara kontinyu ditengah umat, membimbing dan membersamai sehari hari.
Tidak masalah jika kehadiran mubaligh seperti dalam acara hari besar dengan model diatas, tapi pesan pesan dai harus menjadi rekomendasi yang perlu di ‘bumikan’ oleh para mubaligh setempat. Masyarakat diajak menyepakati poin poin penting dalam acara tabligh akbar tadi. Tanpa pendampinga secara rutin oleh mubaligh tempatan, maka pesan mubaligh hanya menjadi kenangan saja. Nanti akan ingat lagi saat sang mubaligh datang lagi, menyapa jamaah.
Maka kesan mubaligh yang selama ini hanya datang disaat diundang, atau karena hadirnya hari besar Islam, harus diredifinisi ke arah yang lebih strategis. Harapanya agar proses tabligh menjadi semakin bermanfaat mengubah kondisi umat ke arah yang lebih baik, sehingga tercipta gerakan tabligh menjadi ekosistem peradaban. Menjadi new movement yang membahagiakan dan mampu mengirimkan pesan yang lebih terang “Inilah Islam”.
Amanah itu ada dipundak mubaligh. Semoga kita menjadi bagian dari proses tabligh ini.