BURHANUDDIN HARAHAP, KAMPIUN DEMOKRASI
Abdullah Hehamahua
Pak Bur, panggilan akrabnya. Nama lengkapnya, Burhanuddin Harahap. Bergelar mester, ijazah sarjana hukum pada masa penjajahan Belanda. Kukenal nama beliau hanya melalui buku-buku sejarah. Empat prestasi beliau yang phenomenal: Melaksanakan Pemilu yang pertama; ‘Ngotot’ menerbitkan UU Pemberantasan Korupsi; Membagi-bagikan kain belacu ke rakyat; Mundur dari jabatan PM.
Bertemu, berjabat tangan, dan berdialog langsung di antara kami, justru di Forum Nasi Bungkus Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Bahkan, kami menempati satu ruangan kerja. Pak Bur sebagai Ketua dan saya Sekretaris Panitia Rehabilitasi Masyumi, 1982. Pak Bur, tokoh Masyumi keenam yang kukenal dari dekat.
Enggan Menjadi Perdana Menteri
“Sejatinya, saya tidak mau jadi PM,” pak Bur menjawab pertanyaanku ketika kami berdua di ruang kerja, DDII, 1982. “Mengapa pak,?” tanyaku heran. Sebab, waktu itu, Soeharto sudah 15 tahun jadi presiden dan masih mau terus berkuasa. Soekarno, lebih dahsyat: Presiden seumur hidup. Kok, pak Bur malah menolak jabatan PM. “Ya, kondisi ekonomi waktu itu sangat buruk,” kata pak Bur, memecahkan lamunanku. “Mengapa pak Bur akhirnya jadi PM ?,” tanyaku, semakin penasaran.
Pak Bur bilang, DPP Masyumi sudah terima tawaran Wakil Presiden, untuk menunjuk dirinya sebagai PM. Sebagai seorang kader Masyumi, apalagi mantan Ketua Fraksi Masyumi di DPR-RIS, pak Bur tidak bisa melepaskan tanggung jawab moralnya. Pak Bur, 12 Agustus 1955, mengumumkan kabinetnya.
Masyumi, partai ideologis, sekaligus pemberi solusi bangsa. Aplikasinya, pak Bur memprioritaskan program kerja terhadap tujuh agenda strategik: Mengembalikan kewibawaan pemerintah; Melaksanakan pemilihan umum; Menyelesaikan perundang-undangan desentralisasi; Menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan inflasi; Memberantas korupsi; Mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia; serta Mengembangkan politik kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik bebas aktif. Dahsyatnya, kurang dari setahun, pak Bur dapat menyelesaikan beberapa masalah strategik negara. Satu-satunya program kabinet yang belum terlaksana adalah kembalinya Irian Barat ke pangkuan NKRI. Bandingkan dengan Jokowi yang dalam kurun waktu enam tahun, tidak hanya menimbun utang dan menjual aset negara, tetapi juga menjadikan bangsa Indonesia, terbelah.
Pak Bur Menyukseskan Pemilu 1955
Berdasarkan UU No: 7/1953, pemilu pertama kali setelah merdeka, dilaksanakan. Tepatnya, 29 September 1955. Dahsyat !. Hanya dalam satu bulan dan 17 hari setelah pembentukan kabinet, Pemilu dilaksanakan. Pemilu dimaksudkan untuk memilih anggota DPR dan Badan Konstituante. Pemilu menggunakan sistem perwakilan proporsional di mana setiap daerah pemilihan memeroleh sejumlah kursi berdasarkan total bilangan penduduknya. Namun, setiap daerah berhak mendapat jatah minimum 6 kursi untuk Badan Konstituante dan 3 anggota DPR. Pemilu Parlemen memperebutkan 257 kursi DPR. Ia diikuti 36 parpol, 34 organisasi, dan 48 calon perorangan. Pemilu Konstituante memperebutkan 514 kursi, diikuti 39 parpol, 23 organisasi, dan 29 perorangan.
Keberhasilan pak Bur yang pertama adalah melaksanakan Pemilu yang jurdil, aman, terbersih, transparan, dan akuntabel. “Pengamat, dalam dan luar negeri mengatakan, Pemilu 55 adalah yang terbaik selama Indonesia merdeka. Bisa sebut alasannya,?” tanyaku pada suatu hari di ruang kerja kami berdua. Pak Bur lalu bercerita: Waktu kampanye di Lapangan Banteng, panggung Masyumi berada di sebelah timur. Panggung kampanye PKI berada di sebelah barat Lapangan Banteng. Jarak di antara masa PKI dan Masyumi hanya sekitar 10 meter. Di panggung Masyumi, tema kampanye yang menggelegar adalah pelaksanaan syariat Islam. Di panggung PKI, tema kampanyenya, sosialisme-komunisme. Kampanye yang berlangsung selama tiga jam tersebut, tidak ada bentrokkan di antara masa kedua partai. Tidak ada satu pun lemparan batu. “Saudara perlu tau, tidak ada cacian dari masa Masyumi ke pendukung PKI atau sebaliknya,” kata Pak Bur mengakhiri keterangannya. Kulihat pak Bur tersenyum. Beliau, sepertinya menikmati nostalgia indahnya Pemilu waktu itu dibandingkan Pemilu 1971, 1977, dan 1982.
Keberhasilan lain dari Pemilu 1955, menurut pak Bur, partisipasi masyarakat. Ada yang berjalan kaki berkilo-kilo meter menuju TPS. Ada pula yang berjam-jam harus menyeberang pulau hanya untuk mencoblos gambar partai pilihannya. Partisipasi pemilih cukup signifikan, 87,65% di mana 91,54% suara sah. Dahsyat ! Sebab, banyak rakyat yang masih buta huruf (ketika merdeka, 97% penduduk Indonesia, buta huruf. Tahun 1955, 45% penduduk dewasa buta huruf). Bahkan, banyak petugas TPS yang buta huruf. Masyarakat pun tanpa pengalaman demokrasi sebelumnya. Golput hanya 6 persen. Pemilu waktu itu memunculkan empat besar partai pemenang: Masyumi, PNI, NU, dan PKI.
Mengenang jawaban pak Bur 39 tahun lepas, saya lalu bandingkan dengan pelaksanaan Pemilu pada masa modern sekarang, khususnya era reformasi. Pemilu 2004, hanya 84,1% pemilih yang menggunakan hak pilih. Bahkan, golput mencapai 15,9%. Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 70,9.%. Golput semakin meningkat, 29,1 persen. Pemilu 2014, partisipasi pemilih, 75%. Golput, 25 persen. Pemilu 2019, partisipasi pemilih lebih tinggi dibanding Pemilu 2014 yakni 81%. Namun, ia lebih rendah dari Pemilu 1955.
Pak Bur Memberantas Korupsi
Masyumi, partai Islam ideologis. Masyumi juga partai Islam politik. Tujuannya, berlakunya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang per orang, masyarakat, bangsa, dan negara. Aplikasinya, antara lain, pejabat negara atau PNS tidak boleh korupsi. Sebab, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, koruptor juga akan masuk neraka. Wajar, selain melaksanakan Pemilu, pak Bur juga fokus terhadap pemberantasan korupsi. Apalagi, kebijakan lisensi yang diterapkan kabinet sebelumnya, mengakibatkan banyak pejabat yang terlibat korupsi. “Jika korupsi yang mulai merajelela itu dibiarkan, rakyat dan negara akan rugi,” pak Bur menjawab pertanyaanku dalam salah satu obrolan ringan di ruangan kerja kami.
Pak Bur mengisahkan kembali, bagaimana serius kabinetnya merancang RUU tindak pidana korupsi. Dua substansi RUU ini. Pertama, perlu pengadilan khusus yang terpisah dari pengadilan umum. Kedua, pejabat harus menerangkan asal usul hartanya. “Bagaimana pelaksanaan UU tersebut,” tanyaku serius. Menurut pak Bur, RUU ini ditolak oleh PNI dan salah satu parpol Islam. Tragisnya, ada menteri yang keluar dari kabinet akibat kebijakan partainya yang tidak menyetujui RUU tersebut. “Maklum, ada pejabat dari parpol tersebut yang terlibat korupsi,” kenang pak Bur.
Program pemberantasan korupsi oleh Masyumi tersebut, baru terealisasi pada masa era reformasi. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya UU Nomor 31/99 jo UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Konsep Masyumi tentang pengadilan yang terpisah juga baru terealisasi dengan adanya Pengadian Tipikor melalui UU No. 46/2009. Mengenai pembuktian terbalik yang diinginkan Masyumi, baru terealisasi secara terbatas, yakni berkenaan dengan gratifikasi. Pasal 7A UU Tipikor mengatakan, penerima gratifiksi yang nilainya Rp. 10 juta ke atas, harus membuktikan ke jaksa KPK bahwa, uang yang diterima bukan suap. Jika gratifikasi di bawah Rp. 10 juta, maka jaksa KPK yang akan membuktikan bahwa hal itu termasuk suap.
Pak Bur Membagikan Kain Belacu
Pak Bur dan kabinetnya sadar betul, ekonomi rakyat dan keuangan negara sangat menyedihkan. Salah satu yang dipikirkan, bagaimana meringankan beban rakyat. Aplikasinya, harga beras dan kebutuhan pokok pun menjadi paling murah pada masa pemerintahan pak Bur. Program phenomenal lain yang dilakukan kabinet pak Bur adalah membagi-bagikan kain belacu. “Mengapa pak Bur memilih program seperti itu,?” tanyaku ketika kami berbual santai di ruang kerja. Beliau agak termenung. Tidak lama kemudian pak Bur angkat bicara: “saya teringat khalifah Umar,” katanya. Menurutnya, khalifah Umar membagi-bagikan bahan pakaian ke penduduk Madinah. Sebab, setiap muslim/muslimah wajib menutup aurat sewaktu shalat.
Sewaktu Umar sedang pidato, seorang sahabat protes. “Mengapa jubah khalifah bisa sampai menutup betis.?” Padahal postur tubuh Umar tinggi sehingga jatah kain yang diperoleh, tidak akan menutup betisnya. Khalifah diduga mengkorup bahan pakaian. Umar termangu, tidak bisa menjawab. Tiba-tiba, Abdullah, anak khalifah angkat bicara: “Khalifah memeroleh jatah kain sama dengan warga Madinah yang lain.” Abdullah mengatakan, beliau tidak tega melihat ayahnya sebagai khalifah berjalan dengan betis yang kelihatan. Olehnya, kain jatahnya diberikan ke penjahit yang menyiapkan jubah ayahnya tanpa sepengetahuan khalifah. “Itulah sebabnya, jubah ayah sampai menutup betisnya,” kata Abdulah. “Kepemimpinanku, tidak setara Umar Ibnu Khattab, walau secuil pun. Namun, saya gembira karena bisa meniru beliau walau pun hanya sedikit,” kata pak Bur sambll tersenyum.
Adzan di masjid Al-Furqon, DDII, menggelegar di kupingku. Saya segera masuk toilet. Membuang hajat kecil dan mengambil wuduk. Pak Bur terus menuju masjid. “Loh, kok pak Bur tidak ambil wuduk.?” batinku. Kugunakan indera keenam sebagai mantan wartawan. Temuan di lapangan mengagetku. Selama dua tahun bersama pak Bur, saya tidak melihat beliau ambil waduk. Masyaa Allah !!! Pak Bur dalam keadaan wuduk sejak dari rumah sampai masuk waktu shalat dzuhur. Teringat ucapan Nabi Muhammad yang mengatakan, beliau mendengar bunyi terompah Bilal di surga. Penyebabnya, Bilal tidak pernah dalam keadaan tanpa wuduk. Begitulah ketokohan pimpinan Masyumi. Bak padi, semakin berisi, tambah merunduk. !!!
Pak Bur Mundur Mengembalikan Mandat
Pak Bur dalam waktu enam bulan dan tiga hari, berhasil melakukan beberapa program penomenal. Pak Bur membubarkan Uni Indonesia – Belanda dan tidak mau membayar sisa utang penjajah tersebut. Pak Bur dalam waktu kurang dari dua bulan, melaksanakan Pemilu yang paling jurdil, transparan, akuntabel tanpa pertumpahan darah. Bandingkan dengan Pemilu selama orde baru dan era reformasi yang penuh penipuan, intimidasi, dan ‘money politic.’ Apalagi Pemilu 2019 yang mengambil nyawa 894 petugas KPPS, 5.175 orang jatuh sakit, dan 11 orang terbunuh sewaktu unjuk rasa di depan kantor Bawaslu, 22 Mei 2019.
Pak Bur dalam waktu singkat juga menangkap puluhan pejabat yang korup melalui polisi militer. Pak Bur juga menyetujui tuntutan masyarakat Aceh untuk jadi provinsi sendiri, terpisah dari Sumatera bagian Utara. Bahkan pak Bur menyetujui berdirinya universtitas yang sekarang dikenal dengan nama Universitas Sumatera Utara (USU). Di dunia internasional, Pak Bur berhasil mengundang wakil negara-negara Asia Afrika sekali pun realisasinya pada kabinet berikutnya. Kubayangkan waktu itu, jika pak Bur memimpin kabinet selama lima tahun saja, Indonesia akan menjadi negara maju, setidaknya di Kawasan Asia dan Afrika. Pak Bur, 3 Maret 1956, mengembalikan mandat sebagai PM ke presiden Soekarno.
“Mengapa pak Bur kembalikan mandat padahal Masyumi memenangkan 10 dari 15 daerah pemilihan waktu itu,?” tanyaku penasaran. Jawabannya sama seperti yang kuperoleh dari tokoh-tokoh Masyumi lainnya: Abah Natsir, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, dan buya Hamka. “Saudara Abdullah, Masyumi itu partai Islam. Punya akhlak dalam berpolitik. Saya diberi mandat untuk melaksanakan Pemilu. Sudah terlaksana, maka tugasku selesai,” jawab pak Bur. Jawaban pak Bur itu membuat saya tidak habis pikir, bagaimana Soekarno menjadi presiden seumur hidup. Apalagi, Soeharto yang 32 tahun menjadi presiden. Bahkan, hari ini, Jokowi dengan drama uniknya mau jadi presiden tiga periode, suatu tindakan amoral karena melawan konstitusi. Harapan kita, anggota MPR tidak dihinggapi penyakit amoral pula. Semoga !!! (Depok, 10 September 2021).