Samar Rabie bertanya-tanya, bagaimana lagi ia bisa memberi makan 15 orang yang tinggal bersamanya? Ibu dari empat anak itu telah menampung teman-teman suaminya, termasuk keluarga mereka, yang telah mengungsi dari Khan Younis, Kota Gaza, Palestina. Rabie merasa kesulitan ketika mencoba berjuang untuk mendapatkan bahan-bahan pokok semisal roti.
“Saya pergi ke salah satu mal untuk membeli beberapa barang, tetapi saya tidak menemukan apa pun,” kata Rabie.
Di mal itu rak-raknya kosong. Tidak ada gula, kacang-kacangan, keju, atau pun produk susu dan lainnya. “Yang ada hanya minyak goreng,” kata Rabie.
Rabie lalu menunjukkan bahwa harga pangan di sana telah meningkat tiga kali lipat sejak perang dimulai. “Kami kekurangan banyak bahan makanan pokok. Seolah-olah semuanya sudah diatur sedemikian rupa, selain tidak memiliki listrik atau air, kami juga akan kelaparan,” imbuhnya.
Maka, karena kekurangan roti, keluarga dan teman-teman mereka bergantung pada pasta dan nasi untuk dimakan. Namun, persediaan makanan itu pun cepat habis juga.
“Saya hanya khawatir tentang bagaimana kami akan saling memberi makan setelah dua atau tiga hari, dan apa yang akan kami jalani di hari-hari sulit yang semakin mencekik kami,” kata Rabie lagi.
Ladang Pertanian Telah Hancur
Seorang warga Khan Younis yang lain, Mahmoud Sharab, mengutarakan kekecewaannya terhadap kenaikan harga yang terjadi. Dia tidak menyalahkan pedagang atas inflasi yang terjadi pada sayuran.
“Pertanian mereka telah dihancurkan oleh pemboman Zionis Israel yang terus-menerus,” kata pria berusia 35 tahun itu. “Mereka tidak dapat mencapai ladang mereka.”
Kesulitan makanan, setiap hari Sharab keluar menjelajahi toko dan pasar untuk mencari makanan, dengan harapan setidaknya bisa menemukan makanan kaleng dan biji-bijian yang tersisa. “Saya tidak dapat menemukan apa pun,” katanya.
“Saya harus bertanya kepada orang-orang, apakah mereka punya persediaan kacang kalengan atau daging, agar saya bisa membelinya untuk keluarga saya,” lanjutnya.
Perang Kelaparan
Apa yang dilakukan Zionis Israel adalah perang kelaparan bagi warga Palestina. Dan kebijakan ini membuat takut banyak orang, termasuk anak-anak juga. Sharab juga mengatakan, pemboman yang disengaja dilakukan Zionis Israel terhadap toko roti telah membuat orang mengantri selama enam atau tujuh jam hanya untuk mendapatkan makanan.
Menurut PBB, tidak ada toko roti di Jalur Gaza utara yang aktif sejak 7 November 2023. Hal itu disebabkan oleh kekurangan bahan bakar, air, dan tepung terigu, serta kerusakan peralatan mereka. Setidaknya ada 11 toko roti di Jalur Gaza yang hancur total, sementara lainnya tidak dapat beroperasi karena kekurangan tepung, bahan bakar, dan listrik.
“Ada indikasi mekanisme penanggulangan yang negatif akibat kelangkaan pangan, termasuk melewatkan atau mengurangi waktu makan, serta menggunakan metode pembakaran yang tidak aman dan tidak sehat,” demikian laporan dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada Rabu, 15 November 2023.
“Orang-orang dilaporkan beralih ke pola makan yang tidak lazim, seperti mengonsumsi kombinasi bawang mentah dan terung mentah,” lanjut laporan itu.
Beberapa lembaga kemanusiaan mengatakan, sejak Zionis Israel memberlakukan blokade total terhadap Jalur Gaza tanggal 7 Oktober 2023, konvoi bantuan hampir tidak dapat masuk ke Gaza. Hal ini berarti bahwa mereka hanya dapat menyediakan “setetes air di lautan” dari apa yang dibutuhkan oleh 2,3 juta orang di wilayah Gaza.
Sekitar sembilan puluh satu truk yang membawa bantuan telah masuk dari Mesir pada 14 November 2023, sehingga jumlah truk yang memasuki Gaza sejak 21 Oktober ada sekitar 1.187 truk. Sedangkan sebelum perang dimulai, rata-rata 500 truk memasuki Jalur Gaza setiap harinya.
Meskipun sudah ada sejumlah bahan bakar yang diperbolehkan masuk pada Rabu (15/11/2023), pertama kalinya sejak 7 Oktober 2023, pihak Zionis Israel tetap menegaskan, bahwa bahan bakar tersebut hanya akan digunakan secara eksklusif untuk truk yang mendistribusikan bantuan kemanusiaan ke tempat penampungan, klinik, dan penerima manfaat lainnya. Penggunaan lainnya, semisal untuk pengoperasian generator di rumah sakit atau fasilitas air dan sanitasi, hal tersebut dilarang oleh Zionis Israel. Selain itu, pengiriman bantuan ke wilayah utara menjadi mustahil karena sebagian besar akses telah terputus.
Pendistribusian persediaan bahan makanan pun sangat terbatas, terutama kepada para pengungsi dan penduduk setempat di Jalur Gaza bagian selatan. Kepada mereka hanya disediakan tepung roti yang diperuntukkan untuk toko roti di Jalur Gaza. Sementara pengangkutan makanan apa pun ke Kota Gaza dan bagian utaranya tidak diizinkan oleh Zionis Israel.
Menurut kelompok advokasi Euro-Mediterania Human Rights Monitor, Zionis Israel telah secara nyata meningkatkan “perang kelaparan” terhadap warga sipil di Jalur Gaza sebagai alat penaklukan dan menjadikannya bagian dari perang yang sedang berlangsung. Sebelum perang dikumandangkan Israel, tujuh puluh persen anak-anak di Jalur Gaza pun sudah menderita berbagai masalah kesehatan, semisal kekurangan gizi, anemia, dan melemahnya kekebalan tubuh. Jumlah ini meningkat hingga lebih dari sembilan puluh persen akibat pemboman Zionis Israel. Demikian kata Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania.
Laporan tersebut menyoroti bahwa Israel memfokuskan serangan terhadap generator listrik dan unit energi surya yang menjadi sandaran perusahaan komersial, restoran, dan lembaga sipil untuk mempertahankan kegiatannya seminimal mungkin. Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa serangan Zionis Israel mencakup penghancuran kawasan pertanian di timur Gaza, silo tepung, dan perahu nelayan, serta pusat pasokan untuk organisasi bantuan, khususnya Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang sebagian besar menyediakan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza.
Berbagai Cara untuk Mati
Ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi dan berlindung di sekolah-sekolah dan rumah sakit yang dikelola PBB bergantung pada bantuan UNRWA. “Kami bergantung pada bantuan untuk memberi makan anak-anak kami,” kata Maysara Saad, yang mengungsi bersama sembilan anaknya dari kota utara Beit Hanoon ke sebuah sekolah di Bani Suhaila, sebelah timur Khan Younis.
“Tidak ada apa pun di toko, dan rak-raknya kosong. Kami terpaksa mengungsi dari rumah kami untuk melindungi anak-anak kami, namun kami juga tidak ingin mereka mati kelaparan,” imbuh Maysara Saad.
Wanita berusia 59 tahun itu mengatakan, warga Bani Suhaila kerap datang ke sekolah untuk melihat apakah masih ada sisa bantuan untuk keluarga mereka. “Semuanya tidak mungkin didapatkan. Dan dengan datangnya musim dingin, menjaga kehangatan juga menjadi salah satu tanggung jawab kami,” kata Saad.
Menurut Saad, tindakan Zionis Israel membuat nyawa mereka terancam lewat berbagai cara. “Seolah-olah Zionis Israel mengatakan kepada kami bahwa jika tidak mati akibat pemboman tersebut, mereka akan membuat kami mati karena kehausan, kelaparan, atau kedinginan. Ini adalah perang yang sangat kejam dan tidak memiliki rasa kemanusiaan,” tambah Saad pula.
Artikel ini telah tayang dalam bahasa Inggris di Aljazeera.com dengan judul “Gaza’s food is running out amid Israel’s war of starvation”.
Penulis: Ruwaida Amer
Alih bahasa: Susilo Widakdo