Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan berencana mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah, sebagai penggantinya. Yazid cukup kredibel mengelola kekhalifahan. Berpengalaman memimpin penaklukan Konstantinopel. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Yazid seorang laki-laki kuat pemberani, berakal, tegas, cerdik dan fasih.” Ibnu Katsir berkata tentangnya, “Yazid memiliki sifat terpuji, dermawan, santun, berlisan fasih, menguasai syair, berani dan mampu mengatur kerajaan.” Namun penduduk Madinah menolaknya, ada apa?
Muawiyah bin Abu Sofyan mengirimkan duta ke berbagai daerah, termasuk ke Madinah, agar penduduk Madinah berbaiat kepada Yazid. Dutanya, Marwan bin Hakam berkata, “Ini adalah sunnah Abu Bakar yang diberi petunjuk.” Karena Abu Bakar menunjuk Umar bin Khatab sebagai khalifah.
Namun Abdurahman bin Abu Bakar menolaknya dengan berkata, “Abu Bakar tidak memilih dari keluarga dan kabilahnya. Beliau memilih laki-laki dari Bani Adi bin Ka’ab, karena melihatnya kapabel, maka dia membai’atnya.” Sedangkan pembai’atan kepada Yazid berarti tidak berbeda dengan bai’at Heraklius (Romawi Timur) dan Kisra (Persia).
Muawiyah bin Abu Sofyan mencoba melobi Abdullah bin Umar agar mau berbai’at kepada Yazid dengan berkata, “Wahai Ibnu Umar, dulu anda pernah menyampaikan kepadaku bahwa anda tidak suka melewati malam yang gelap tanpa ada orang yang memimpin atasmu. Aku memperingatkanmu agar anda tidak memecah tongkat Muslimin, jangan jadi biang kerusakan di antara mereka.”
Merespon itu, Ibnu Umar menjawab dengan menjelaskan tata cara bai’at Khulafa Rasyidin. Ia menambahkan bahwa orang Quraisy lainnya juga memiliki putra yang lebih baik dari Yazid, namun mereka tidak berpendapat pada putranya seperti Muawiyah terhadap putranya. Ibnu Umar menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah kecuali bila kaum Muslimin sudah sepakat.
Muawiyah bin Abu Sofyan mencoba melobi Abdullah bin Zubair agar berbaiat kepada Yazid putranya. Ibnu Zubair menjawab dan memintanya untuk meninggalkan kursi kekhalifahan terlebih dahulu bila memang sudah jenuh mendudukinya, lalu mengangkat Yazid sebagai khalifah penggantinya. Bila setuju, maka ibnu Zubair bersedia membaiat putranya Yazid. Sebab tidak boleh ada dua khalifah dalam waktu yang bersamaan.
Husain bin Ali menolak berbaiat kepada Yazid karena Muawiyah tidak konsisten dengan syarat perdamaian dengan kakaknya, Hasan, dimana salah satu point perdamaiannya, “Hendaknya perkara ini menjadi syura di antara kaum Muslimin.” Husein bin Ali melihat bahwa upaya Muawiyah mewariskan khilafah kepada anaknya, Yazid, menyalahi manhaj Islam dalam tata-kelola pemerintahan.
Muawiyah bin Abu Sofyan sudah sangat paham bahwa penduduk Madinah tidak mau berbaiat kepada Yazid putranya. Saat seluruh perwakilan delegasi dari berbagai daerah datang untuk meminta persetujuan dan deklarasi baiat, delegasi dari Madinah, Amr bin Hazm ditolak atau didesain agar datangnya terlambat sehingga penolakannya tidak mengacaukan pendapat yang setuju dan menimbulkan silang pendapat akibat penentangannya.
Muawiyah mengangkat putranya Yazid sebagai khalifah dengan pertimbangan untuk menjaga keutuhan umat, sebab Yazid didukung oleh mayoritas penduduk Syam yang merupakan faktor terkuat dalam menjaga stabilitas negara. Apapun alasannya, para penduduk Madinah menolak gerakan politik dinastinya Muawiyah bin Abu Sofyan, mereka menginginkan mekanisme pemilihan khalifah seperti di era Khalifahatur Rasyidin.
Bagaimana dengan negri ini, bila sesuatu bertentangan dengan konstitusi, yang diubah justru konstitusinya?
Source : Sabili.id