Suatu hari saat Islam sudah jaya dan menyebar ke seluruh jazirah dan banyak sahabat nabi diangkat menjadi gubernur, menurut cerita Abu Dzar, ia berkata, “Wahai Rasulullah tidakkah anda menjadikanku sebagai pejabat?
Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan.”
Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR Muslim).
Dalam kacamata sekarang, pertanyaan Abu Dzar ini normal dan syah saja, mengingat dia adalah generasi awal yang mengikuti nabi sejak Islam baru tumbuh di Mekah.
Tetapi kita percaya bahwa Rasulullah punya pemahaman yang dalam tentang sosok Abu Dzar dan hakikat kekuasaan yang seperti candu.
Imam al Mawardi mengatakan bahwa kekuasaan itu seperti candu, bahkan bagi seorang yang baik (shalih) sekalipun.
Apa itu candu?
Candu adalah getah kering atau opium dari pohon papaver somniverum.
Kecanduan merupakan sebuah keadaan yang
membuat kita ketergantungan terhadap suatu hal. Kecanduan diakibatkan karena kita sudah senang atau nyaman terdapat suatu hal, baik yang positif maupun negatif.
Abdul Mugni dalam di the aceHTrend.com menulis:
“Kekuasaan itu seperti opium dari pohon papaver somniverum, getah dari pohon ini mempunyai daya memabukkan dan membius karena berkhasiat mengurangi rasa nyeri dan merangsang imajinasi. Kalau ada kebohongan dan janji dari para penguasa karena karakter utama penguasa melenakan dan memabukkan maka penguasa suka mengabaikan dan mangkir dari janji-janjinya.
Kekuasaan yang diperebutkan dengan cukong dan uang haram dikenal dengan kekuasaan level morfin. Pada level ini ibarat opium yang dilukai dengan cara digores pada pohonnya sehingga mengeluarkan getah kental warna putih. Ini disebut opium mentah. Opium mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi. Bila getah ini di ekstrak lagi akan menghasilkan Morfin. Para cukong yang ikut bermain menentukan penguasa sama halnya pentas kekuasaan diisi dengan candu selevel morfin. Tingkat kerusakannya sangat parah, jika level opium penguasa hanya menggunakan sistem pemasaran untuk “menjual dirinya” akan tetapi pada level morfin kekuasaan mengikut sertakan para cukong untuk meraih kekuasaan.
Kekuasaan jenis heroin, morfin yang di ekstrak lebih lanjut akan menghasilkan heroin. Level ini Kekuasaan direbut dan diisi oleh para preman. Cara premanisme digunakan untuk mencapai tujuan. Premanisme politik tumbuh dalam pelbagai wujud, kekuasaan pada tahap ini sudah memasuki fase transaksional, Jual beli dan perselingkuhan antara Pemodal dan Penguasa.”
Karena kekuasaan adalah candu, maka banyak penguasa akan sangat sulit melepaskan kekuasaan. Sehingga ada presiden berkuasa sampai 30 tahun, ada juga yang merasa tidak cukup bila hanya dua periode. Ada juga yang tidak rela bila (candu) kekuasaan itu pindah ke orang lain, maka harus diwariskan ke anak cucu dan sebagainya.
Bila penguasa kecanduan dengan kekuasaannya, maka penguasa yang segera akan habis jabatannya akan selalu mencari cara agar jabatannya bisa lebih lama lagi dan atau akan mengalami post power syndrome.
Kembali ke Abu Dzar.
Beliau ini bukan orang sembarangan. Beliau masuk Islam saat Islam masih baru tumbuh di Mekah. Setelah masuk Islam Abu Dzar bertanya kepada nabi, apa yang harus aku lakukan setelah ini?
Nabi bersabda: “Pulanglah ke kampungmu dan kabarkanlah masalah (agama Islam) ini.”
Tetapi sebelum pulang dia berkata bahwa dia tidak akan pulang sebelum mendeklarasikan keislaman nya di depan Ka’bah.
Maka diapun melakukan deklarasi itu di depan Ka’bah dan akhirnya dipukuli secara keroyokan oleh para tokoh kafir Quraisy sampai babak belur.
Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Abu Dzar ini lidah nya tajam terhadap kemungkaran sehingga tidak cocok jadi pejabat, mungkin lebih cocok menjadi oposisi atau LSM. Ini terbukti misalnya, ketika Muawiyah yang gubernur Syam tidak tahan dengan kritik tajamnya sehingga memohon kepada khalifah Utsman agar Abu Dzar ditarik ke Madinah.
Abu Dzar memang memiliki lidah yang tajam dan air ludah yang asin. Terbayang kan bila luka irisan disiram dengan air garam yang asin?
Dikalangan sahabat nabi dan para tabi’in tidak sedikit yang menolak saat diangkat jadi pejabat. Kalau pun akhirnya menerima itupun dengan paksaan, seperti Abu Ubaidah bin al Jarrah menjadi gubernur Mesir dan Abu Hurairah menjadi gubernur Yaman, saat pemerintahan khalifah Umar bin Khatab.
Bahkan Abu Hurairah setelah menyelesaikan periode pertama dengan sukses dipaksa lagi oleh khalifah untuk lanjut ke periode kedua. Begitu dipaksa untuk periode yang ketiga Abu Hurairah menolak dengan sangat kuat sehingga khalifah Umar tidak mampu memaksanya, yaitu:
“Saya tidak akan punya waktu lagi mengumpulkan dan menulis hadits nabi kalau saya masih ditugaskan sebagai gubernur…” katanya.
Tetapi orang shalih yang merasa dan dipandang mampu tidak boleh tidak ikut berkompetisi dalam kekuasaan. Karena kalau kekuasaan dipegang oleh orang shalih program dan standar kesuksesannya akan berbeda bila kekuasaan dipegang oleh preman dan oligar. Karena kekuasaan itu sangat efektif untuk amar ma’ruf nahi munkar…
Hanya perlu terus diingat bahwa kekuasaan itu candu yang bila kecanduan, akan sulit dilepaskannya…
Wallahua’lam bi shawab
Penulis: Ustad Gufron Azis Fuadi
(Gaf)