وَبِٱلْحَقِّ أَنزَلْنَٰهُ وَبِٱلْحَقِّ نَزَلَ ۗ وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al-Isra Ayat 105)
Yang ditunggu tunggu manusia pada setiap waktu sejatinya adalah datangnya berita yang menggembirakan. Kecenderungan menunggu kabar gembira adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam sanubari manusia dewasa ataupun anak anak. Bahkan, tidak saja menunggu datangnya kabar gembira, manusia juga berusaha menciptakan kabar gembira. Maknanya, kabar gembira diciptakan Allah sebagai obat dan pengontrol kesehatan jiwa.
Dalam perspektif ayat diatas, setelah Allah turunkan Al Quran dengan segala pesan pesan kebenaran, pastilah ada yang membawanya, sekurangnya menyampaikan nya kepada obyeknya. Rasulullah dalam momentum ini diposisikan sebagai pembawa kabar baik sekaligus pemberi peringatan. Ada optimisme yang dibangun, sekaligus ada peringatan sebagai controlnya.
Dalam penjelasan ayat diatas disebutkan, “Dan dengan kebenaranlah kami turunkan al-qur’an ini kepada Muhammad untuk memerintahkan hamba-hamba dan melarang mereka serta berisi berita pahala dan siksaan bagi mereka. Dan dengan kebenaran, keadilan, pemeliharaan dari perubahan dan revisi, al-qur’an itu turun. Dan kami tidaklah mengutus engkau (wahai rasul), kecuali sebagai pembawa berita gembira bagi orang yang taat dan mempertakutkan dengan neraka bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir”.
Sekarang Rasul telah tiada, maka penerusnya adalah dai sebagai duta Islam dan uswah dalam kehidupan. Menyampaikan kabar gembira sebagai tugas inti pembinaan. Kabar berita dalam perspektif dakwah dapat didekati melalui beberapa penjelasan berikut ini.
Satu, kabar gembira dalam makna kontennya, dimana ia mengandung muatan yang mejadikan obyek dakwah menjadi senang dan kemudian mau menerima, mengamalkan dan juga mendakwahkan. Dengan konten tersebut, obyek dakwah merasakan banyak manfaat, menumbuhkan kesadaran atas mulianya menjalankan perintah.
Kedua, dalam misi dakwah perlunya suasana yang membuat huhungan dai dan mad’u (obyek dakwah) memiliki huhungan yang menggembirakan sehingga tugas tugas dakwah menjadi ringan untuk ditunaikan. Jikalah, tugas dakwah itu masuk dalam hal hal yang berat, sang dai menyadari bahwa tugas ini akan mengantarkannya ke liang kebahagiaan.
Ketiga, secara kemanusiaan pesan kabar gembira, mengindikasikan perlunya suasana yang cair saat interaksi antar orang dalam dakwah. Dengan suasana kegembiraan, maka pesan pesan lebih mudah untuk sampai. Aktivis dakwah hendaknya memberikan perhatian dalam aspek ini.
Keempat, namun demikian kabar gembira yang disampaikan kepada obyek, harus juga dikolaborasikan dengan peringatan. Ada harapan dan kecemasan, berharap agar amal diterima serta cemas jika amal tertolak.
Maka dengan demikian, proses proses dakwah ssjatinya perlu kolaborasi konten, media, dai, madu, yang bisa membangun hubungan yang baik, tapi sekaligus penuh dengan kahati hatian. Kabar gembira tidak diukur dengan perspektif kuantitatif bahwa obyek tertawa tawa dengan pesan pesan. Tapi juga perlunya obyek dakwah terbiasa mendengar peringatan yang keras, sehingga membuat siapapun yang terlibat selalu dalam suasana waspada.
Tapi yang jelas, misi dakwah adalah menyampaikan kabar yang menggemberikan sekaligus menyampaikan peringatan agar hidup semakin hati hati.