قال رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري واحلل عقدة من لساني يفقهوا قولي
“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 25-28)
Coba kita perhatikan dialog aktivis dakwah yang baru lulus dan dikirim ke lapangan untuk mengabdi serta latihan dakwah sesungguhnya, untuk membantu memahami ayat diatas. Dialog ini saya edit dibeberapa kalimat, untuk keperluan teknis penulisan,
“Assalamualaikum , Saya minta izin meminta waktu antum sedikit ust. Saya mau sedikit konsultasi sama antum ust terkait sikon lapangan.
Disini Alhamdulillah saya sudah berjalan 1 minggu tugas, namun saya dikejutkan dgn kondisi tempat tugas ketika saya pertama menginjakkan kaki disini. Saya dijemput oleh seorang warga di depan gerbang kampung. Yg membuat saya terkejut ialah beliau menyambut saya dgn seduhan rokok di mulutnya. Tak hanya sampai disitu ketika saya diarahkan menuju kamar dimana nanti tinggal, saya juga menemukan banyak anak anak remaja bebas merokok di kampung tersebut. Selain itu juga masih kental dgn ajaran² yang mengarah kepada rusaknya akidah. Menurut antum ust apakah saya langsung menabrak kebiasaan tersebut atau saya mengikuti trus secara perlahan apa yg telah menjadi kebiasaan maayarakat?”
Berat untuk menjawabnya, karena dikampung tersebut pengiriman dai sudah melalui 5 generasi. Sang dai masih melanjutkan diskusinya walau hanya lewat WA. Namun pernyataan berikutnya lebih optimis dan menggambarkan kesiapanya membersamai masyarakat tersebut. Katanya melanjutkan, “Disamping itu saya mengingat salah satu mahfudzat yg mengatakan bahwa lebih baik sedikit kebaikan, daripada banyak amal tapi salah. Dan juga saya khawatirkan apabila terus menerus mengikuti mereka maka secara perlahan saya termasuk daripada mereka. Mohon jawabannya, syukran “.
Dari dialog tersebut dijawablah dengan nada penuh optimisme, “Lapangan memang unik dan perlu keuletan tingak tinggi. Oce! Perlu leher panjang utk menghadapinya, maka ini proyek khas, kita pilih antum tadz. Semoga sukses!”. Sang dai menanggapinya juag dengan nada penuh harap, “Bismillah, Mohon doanya, kita hadapi keunikan ini dengan penuh keasyikan!”.
Lapangan memang bukan kelas. Bicara dikelas ada jeda, batas dan audien yang terukur. Sedangkan lapangan, adalah ibarat pasar bebas, orang bisa masuk dan keluar kapan saja. Pasar baru sedikit tertib pada masa pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan, sebelumnya?? Tak perlulah aku ceritakan ditulisan ini bagaimana bebasnya pasar.
Melihat kenyataan ini, kita jadi terbayang bagaimana para Nabi dan Rasul dahulu berdakwah, membina ummat. Ratusan tahun, Bani Israil dipilihkan utusan Allah yang berkualitas tinggi, toh! Sang utusan wafat, kondisinya berbalik ke angka nol lagi. Masyarakat seperti roda pedati, ada saatnya diatas, ada pula saatnya turun kebawah lagi, bahkan sebagianya terjerumus ke lubang biawak yang dalam.
Melihat situasi yang naik turun tidak stabil ini, benar harapan Nabiyullah Musa agar diberikan kelapangan dada. Lapang dalam menerima kenyataan yang menyakitkan, ditinggal sendirian dalam kebaikan yang terus disuarakan. Rasulullah juga demikian, dipesankan oleh Allah, “الم نشرح لك صدرك” bukankah telah aku bukakan dadamu? Saat menghadapi masyarakat yang begitu “unik”. Diberi nasehat untuk maju malah mundur, agar ke kanan malah kekiri dan keanehan keanehan yang lainya.
Kondisi seperti akan terus berulang, jika kita lihat bagaimana dakwah ini digelorakan oleh para Nabi, Rasul dan juga sedikit cerita dai diatas. Ilmu kita cukup, kemampuan beretorika kita menarik, performen kita oke, tapi itu semua belum cukup jika tidak disertai “Lapangnya dada”. Perlu tahapan, cara, metode yang akan memakan perasaan, hati, pikiran dan berbagai hal kejiwaan untuk sampai pada perubahan yang diinginkan.
Kelapangan dada, akan dapat mengelola emosi, ilmu, rencana, dan juga idealisme kebenaran sang juru dakwah. Sambil mengharap kepada Allah agar senantiasa diberikan tambahan ilmu dan keterampilan memahaminya. Ya! Memahami masalah lapangan.
Ditutup percakapan dakwiyah antar duat tersebut dengan doa, “Allahuma yassir umurana fi dakwati islam, dengan lantunan ayat “رب زدني علما وارزقني فهما”, Ya Allah, tambahkanlah ilmu dan berikanlah rizki untuk memahaminya.
Berlatihlah dan rapat “lapang dada-Mu” dengan doa dan memahami apa yang sejatinya sedang terjadi dilapangan. Seorang dai muda pernah berpesan, “dakwah lapangan seperti makan coklat, ada manis dan pahitnya”.