{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا (96) فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا (97) وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هَلْ تُحِسُّ مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا (98)
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Mahapemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang. Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang. Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah kamu melihat seorang saja dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar?” (QS. Maryam: 96-98)
“Rasa, jembatan rasa sebagai prestasi seorang dai”, istilah yang dipilih Pak Natsir sebagai sarana mengetuk hati manusia. Antara dai dan mad’u perlu sarana untuk menghubungkan. Jika harta, tahta, kuasa terlalu berat menjadi penghubungnya, tidak dengan rasa. Perasaan, rasa kasih sayang telah lama menjadi obat mujarab dalam menyambungkan dua komponen perubahan itu. Maka kita mengenal istilah “bicaralah dari hati ke hati”, mewakili kondisi dialog yang sudah mentok dan ruwet.
Jika harta telah menjadi wacana kesuksesan. Jika tahta telah berkolaborasi dengan nafsu ankara. Jika kuasa telah menghinakan martabat manusia. Jangan berhenti menebarkan rasa kasih sayang sebagai penyembuhnya. Bagaimana sombonya Fir’aun toh masih menyisakan sedikit kelembutan bisikan sang istri yang Ahlu Jannah, “bayi mungil ini harus diselamatkan, mungkin ada manfaat”. Jika mimbar parlemen dan jalanan telah tertutup, atau media berita telah mati, jangan berhenti mengharap. Mimbar hati, masih ada harapan tuk disapa. Disinilah kekuatan dakwah itu kita manfaatkan.
Dalam Tafsir Ibn Katsir, `Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas tentang firman-Nya: sayaj’alu lahumur rahmaanu wuddan (“Kelak ar-Rahmaan akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang”) ia berkata: “Perasaan cinta.” Mujahid berkata dari Ibnu `Abbas, “Kelak ar-Rahmaan akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang,” ia berkata: “Perasaan cinta di dalam hati manusia di dunia.”
Sa’id bin Jubair berkata dari Ibnu `Abbas: “Ia mencintai mereka dan menanamkan rasa cinta kepada mereka, yaitu kepada makhluk-Nya yang beriman.” Demikian yang dikatakan Mujahid, adh-Dhahhak dan selain keduanya. ‘Ustman bin ‘Affan berkata: ‘Tidak ada seorang hamba pun yang mengamalkan satu kebaikan atau satu keburukan, kecuali Allah memakaikan selendang amalnya itu.’”
Islam meletakkan perasaan sebagai tenaga untuk menyambung kondisi yang terkoyak. Kesyirikan telah mengoyak persahabatan, memunculkan benih dan aksi saling curiga. Dibanyak ujung dunia malah telah menimbulkan kebinasaan jasad dan menghilangkan kebahagian para pemiliknya. Bahkan, saat rasa cinta menghilang, kebinasaan datang untuk menghancurkan. Astahgfirullah, banyak saudaraku meregang nyawa tanpa hak, saat pihak yang punya kuasa memuntahkan peluru dan selongsongya. Nyawa yang berharga, musnah karena rasa tak lagi menghiasi manusia. Ampunilah mereka.
Situasi permusuhan yang menghampar dihadapan ini musti dihentikan. Para dai harus tampil kehadapan. Menyiarkan kasih sayang, menyapa pribadi-kelompok yang sedang sama-sama mengeluarkan kekuatan, “Saya atau Kamu yang hancur”. Rasulullah tampil diantara kaum Aus dan Khazraj yang saling tumpas ratusan tahun. Islam melembutkan hati yang keras itu, yang telah merobek-robek persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Bukan cuma itu, hilangnya rasa kasih sayang juga akan memanggil musibah yang leboh serius. Rupanya ada hubungan, antara rasa yang kondisi alam. Rasa menyeimbagkan kontruksi alam, mendamaikan komponen yang saling respon. Saat air tak lagi berfungsi memadamkan api, berarti puncak kerusakan sudah dalam kondisi parah. Seperti hujan yang berubah jadi musibah.
Imam Ahmad berkata dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah, jika mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: `Hai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Lalu Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil seluruh penghuni langit dan berkata: `Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia,” lalu seluruh penghuni langit pun akan mencintainya.
Kemudian, diletakkanlah baginya penerimaan di muka bumi. Sesungguhnya Allah, jika membenci seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: `Hai Jibril, Aku membenci si fulan, maka bencilah dia.’ Lalu Jibril pun membencinya dan memanggil penghuni langit sambil berkata: `Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia,’ lalu penghuni langit pun membencinya. Kemudian, diletakkan baginya kemurkaan di muka bumi.”
(HR. Muslim dari Suhail, Ahmad dan al-Bukhari, dari hadits Ibnu Juraij, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw)
Begitulah kasih sayang menyejarah dalam kehidupan ini. Juru dakwah memiliki kesempatan untuk terus menyampaikan, walaupun tak banyak yang meresponya. Jangan pedulikan itu, nanti ada saatnya, rasa mengubah situasi yang ada. Saat kejenuhan hati telah memuncak, kasih sayang akan datang. Rasa cintu itu universal, tak mungkin hilang karena kuasa, harta dan tahta.
Sepanjang air mata masih bisa menetes, atau sekedar membasahi pelupuk mata, insya Allah, rasa kasing sayang akan tetap menjadi jembatan penghubungnya. Juru dakwah harus semakin terbuka, walaupun Namrudz ada dimana-mana. Selamtkan ummat dengan sentuhan rasa, jadilah jembatan rasa. Tak selamanya hidup ini permusuhan, karena Allah telah ciptakan “rasa “sebagai obatnya.