وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (4)
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm, 1-4)
Kisah yang melatari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, oleh para ulama sering dikaitkan dengan wafatnya Abu Thalib sebagai tameng perjalanan dakwah masa perintisan. Juga, wafatnya bunda Khadijah sebagai pendamping yang memberikan seluruh hidupnya untuk sang Rasul mulia.
Secara sosial, hubungan sebagai manusia kisah Isra’ dan Mi’raj mewariskan banyak ilmu bagi peradaban manusia. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadist tentang peristiwa tersebut, diantaranya ;
Pertama, saat terjadi peristiwa Isra’ dan Mi’raj sisi humanistik Rasul berada dalam penjagaan Allah (maksum) sebagaimana ayat an-Najm diatas. Apa yang dikisahkan bukan dari dirinya, tetapi kalam wahyu yang mulia, walaupun harus menghadapi kenyataan pahit dari musyrikin.
Kedua, Rasul mengajarkan tentang perlunya tawakal atas suatu usaha. Dimana beliau tetap menambatkan tali kendali Buraq di salah satu tiang masjid Al-Aqsha. Padahal secara dhahir, siapa yang akan mengambil atau akan kemana perginya. Buraq tersebut adalah kiriman Allah dan dikawal oleh Malaikat Jibril. Tapi itulah tawakal, suatu yang harus ditempuh sebagai sebuah usaha preventif, sedia payung sebelum hujan.
Ketiga, bertemunya Rasul dengan para Rasul dan Nabi sebagai sebuah keluarga besar, bersambung nasab keturunan nya. Begitu pula gambaran kaum mukminin dengan keluarga nya, akan dikumpulkan di Surga.
Keempat, Rasul diperlihatkan surga, neraka dan para penghuninya. Secara akidah, ada keyakinan bahwa surga dan neraka sejatinya sudah diciptakan sejak mula, walaupun ilmu pengetahuan empiris belum mampu mengetengahkan asumsi aksiologinya.
Kelima, Rasulullah mengajarkan tentang kepedulian kepada sesama. Memikirkan, agar sesamanya tidak susah dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Beliau sampai berulang kali, meminta keringanan kewajiban shalat yang awalnya 50 waktu. Kecil secara fisik dan memiliki umur pendek, sehingga dikhawatirkan tidak mampu dan malah meninggalkan arena.
(Bersambung…)
Jkt, 19/2/23
Sumber : Catatan Ust. Ahmad Misbahul Anam