Tahun kesedihan atau ‘amul huzni pernah menghampiri kehidupan Rasulullah, khususnya terkait perjalanan dakwah. Jiwa mengalami situasi yang tidak biasanya, dimana sang paman Abu Thalib dan istri Khadijah wafat justru disaat situasi amat berat.
Diintimidasi oleh kaum Quraisy agar menghentikan dakwah. Situasinya malah semakin memuncak, saat keduanya wafat. Dakwah belum genap hitungan jari. Isra’ dan Mi’raj dipilih Allah sebagai sarana memperkuat jiwa. Dipertemukan dengan para senior dakwah, diperlihatkan surga dan neraka, janji dan ancaman, perintah shalat, peduli dan memperbanyak amal shalihshalih, diantaranya ;
Pertama, selalu mengucapkan salam setiap ketemu dan memasuki rumah orang lain.
Kedua, bicara dan mendiskusikan sesuatu dengan niat untuk memecahkan problem ummat dan tidak mempersulit pelaksanaannya.
Ketiga, menjadikan shalat sebagai sarana membangun komunikasi dengan Allah, dan memanfaatkan nya sebagai sarana menghibur jiwa yang sedang gundah gulana.
Keempat, keindahan surga dan kesengsaraan neraka dijadikan bahan evaluasi diri, agar amal semakin bertambah berkualitas.
Kelima, perlunya mempersiapkan diri dengan baik untuk mendapatkan kemuliaan akhirat, melihat wajah Allah.
Keenan, peristiwa Isra’ dan Mi’raj menjadi tahapan pertama, meyakinkan Rasul atas janji dan jaminan terhadap perjalanan dan perjuangan dakwah yang berat dan melelahkan.
Allah-lah yang memperjalankan Rasul diwaktu malam dari Makkah ke Masjidil al-Aqsha, lalu ke langit Tujuh dan Sidratu al-Muntaha. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
SetuBabakan, 20/2/23
Sumber : Catatan Ust. Ahmad Misbahul Anam