Oleh Nuim Hidayat
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia didirikan pada 26 Februari 1967. Para pendirinya adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka Indonesia, yang juga para pendiri bangsa seperti Mohammad Natsir, Mr Mohammad Roem, Mr Sjafroedin Prawiranegara, Prof Dr HM Rasjidi, Mr Burhanuddin Harahap, Prawoto Mangkusasmito dan Prof Kasman Singodimedjo.
Dalam usianya ke-54 tahun ini, Dewan Da’wah telah memiliki perwakilan di 32 provinsi dan lebih dari 200 daerah tingkat II di Indonesia. Kini ribuan dai Dewan Da’wah aktif berdakwah baik di kota-kota masuk daerah-daerah pedalaman. Sekitar 600 dai mendapatkan mukafaah (insentif) bulanan secara rutin dari Dewan Da’wah pusat. Ratusan lagi dibiayai dari Dewan Da’wah daerah.
Ada sekitar 800 masjid yang telah didirikan Dewan Da’wah di seluruh pelosok Nusantara. Saat ini keluarga besar Dewan Da’wah mengelola ribuan pondok pesantren, sekolah dan perguruan tinggi.
Kampus utama Dewan Da’wah, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir telah meluluskan sekitar 600 alumni. Di samping itu, sampai tahun 2020 Dewan Da’wah juga telah mendirikan 16 Kampus Akademi Dakwah Indonesia di 16 kabupaten/kota.
Sejak didirikan pada 1967 hingga kini, Mohammad Natsir dan Dewan Da’wah telah mengirim dan memberikan rekomendasi kepada ribuan mahasiswa yang menimba ilmu di Timur Tengah, Amerika, Eropa dan Malaysia. Para kader Dewan Da’wah itu kini banyak yang aktif berkiprah di tengah masyarakat, baik sebagai dosen, politisi, guru, maupun pimpinan Lembaga Pendidikan Islam.
Para pemimpin Dewan Da’wah khususnya Mohammad Natsir, telah memberikan tiga asset yang sangat berharga. Yakni asset khazanah intelektual, asset-aset fisik dan asset keteladanan. Ketiga aset itu sangat berharga dan secara umum mampu dijaga dan dikembangkan oleh pimpinan Dewan Da’wah berikutnya.
Dakwah memiliki tujuan mulia untuk membentuk insan mulia. Yakni manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Itulah tujuan utama dakwah Islam. Dan itu tak lain merupakan kelanjutan misi dakwah yang dilakukan Rasulullah Saw untuk menyempurnakan akhlak mulia dan mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat bagi seluruh alam.
Selanjutnya, para insan mulia itulah yang akan mampu mewujudkan masyarakat dan negara Indonesia yang adil dan makmur. Allah SWT berfirman, ”Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, maka pasti akan Kami kucurkan berkah kepada mereka, dari langit dan bumi.” (QS al A’raf 96).
Untuk menanggulangi Kristenisasi, Natsir aktif menggerakkan kader-kader Muslim untuk membendung arus Kristenisasi. Ia pun aktif menulis buku-buku seputar Kristenisasi. Meskipun berteman dengan sejumlah tokoh Kristen, Natsir tidak rela umat Islam menjadi sasaran gerakan pemurtadan melalui kristenisasi.
Berikut ini sebuah contoh imbauan M Natsir kepada kaum Kristen di Indonesia: “Marilah saling hormat menghormati identitas kita masing-masing agar kita tetap bertempat dan bersahabat baik dalam lingkungan “Iyalullah” keluarga Tuhan yang satu ini. Kami umat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (Al Mumtahanah)…Sebab kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini.”
Tantangan dakwah kedua yang disebutkan M Natsir adalah sekulerisasi. Dalam pesannya kepada generasi Amien Rais dan kawan-kawan, Natsir menyatakan bahwa selain timbul secara alamiah, akibat perkembangan ilmu dan teknologi, sekulerisasi juga dilakukan secara aktif oleh sejumlah kalangan. Menurutnya sekulerisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah.
Tentang hal ini M Natsir menyatakan,”Proses sekulerisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religious. Proses sekulerisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual Muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekulerisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.”
Tantangan yang ketiga disebut M Natsir adalah nativisasi. Upaya ini dilakukan baik secara sistematis atau tidak, untuk mengecilkan dan menafikan peran Islam dalam pemebntukan kebudayaan Indonesia. Islam dianggap sebagai barang asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa.
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M Natsir menulis sebuah artikel berjudul ‘Jangan Berhenti Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut’. Melalui artikelnya ini Natsir menggambarkan kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat.”
Untuk mencapai tujuan kehidupan, Pak Natsir berpesan agar jangan berhenti berjuang. Sebab, tujuan belum sampai. Dalam istilah Pak Natsir,”Untuk itu perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkalai.”
Dikutip dari buku terbaru karya Dr Adian Husaini, “Bersama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Mewujudkan Indonesia Adil Makmur 2045.”
Nuim Hidayat