Oleh: Farizal,SEI
Mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam SEBI / Bidang Wakaf, Ekonomi dan Aset Dewan Da’wah Lampung
Masyarakat Muslim Indonesia dikenal sebagai bangsa yang dermawan. Laporan-laporan filantropi dunia menempatkan Indonesia sebagai negara paling murah hati. Setiap bencana, musibah, atau momen keagamaan selalu diiringi gelombang donasi yang besar. Namun di tengah semangat memberi yang tinggi ini, ada satu pertanyaan penting yang perlu diajukan: mengapa wakaf belum menjadi budaya?
Wakaf masih dianggap asing, terbatas, dan kadang hanya dimaknai sebagai pemberian tanah kosong atau bangunan tua yang tidak lagi dimanfaatkan. Bahkan tak jarang wakaf dijadikan pelarian terakhir bagi aset yang tidak produktif: daripada mubazir, lebih baik diwakafkan. Padahal, dalam sejarah Islam, wakaf adalah instrumen utama dalam membangun peradaban. Universitas, rumah sakit, dapur umum, lembaga militer, hingga dana penyelamatan tawanan perang di masa silam—semuanya dibangun dan dibiayai oleh wakaf.
Pernyataan Jabir bin Abdullah, seorang sahabat Nabi, sangat layak untuk direnungkan: “Tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang memiliki kemampuan ekonomi, kecuali pasti dia berwakaf.” Ini bukan sekadar pujian, melainkan cermin dari budaya hidup masyarakat Islam generasi awal. Wakaf telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesalehan sosial mereka. Bahkan mereka yang disebut miskin, seperti Abu Dzar al-Ghifari, tetap mengambil bagian dalam wakaf, karena yang diukur bukan nominal, tetapi kepekaan dan kemauan untuk memberi manfaat yang berkelanjutan.
Sayangnya, di era modern ini, wakaf kehilangan ruhnya. Dianggap hanya milik kalangan tertentu, tanpa arah pemanfaatan yang jelas, dan seringkali tanpa strategi. Banyak orang hanya ingin “mewakafkan” barang yang mereka sendiri tidak ingin gunakan. Tanah yang tidak bisa diakses, bangunan yang tak layak pakai, atau properti yang tidak punya nilai ekonomi, dijadikan objek wakaf seolah-olah sudah cukup bernilai. Padahal wakaf adalah bentuk sedekah tertinggi, bukan sekadar amal asal-asalan.
Dalam literatur fikih klasik, wakaf ditempatkan sebagai bagian dari sedekah ihsan—yakni sedekah yang dilakukan pada level keimanan dan keikhlasan tertinggi. Wakaf tidak dibatasi oleh nisab atau haul sebagaimana zakat, tidak bersifat konsumtif seperti infak sesaat, dan tidak berhenti pada satu kali manfaat. Wakaf adalah amal yang terus mengalir manfaatnya. Sebuah sumur, sebidang tanah, sebuah institusi pendidikan, atau bahkan sebuah perangkat teknologi bisa menjadi sumber pahala yang tak terputus selama manfaatnya terus dirasakan.
Kita sebetulnya tidak kekurangan contoh. Dalam sejarah Islam, para sahabat berlomba dalam berwakaf. Ada yang mewakafkan kebun kurma terbaiknya, ada yang mewakafkan rumah untuk keluarga perempuannya yang diceraikan, bahkan ada yang mewakafkan perlengkapan perangnya demi membantu perjuangan umat. Di masa kekhalifahan Islam, wakaf juga menjadi instrumen utama dalam pembiayaan publik. Negara tidak bergantung pada pajak semata. Wakaf irsyadi—yakni wakaf yang dilakukan oleh otoritas negara—dijadikan sumber pendanaan strategis untuk pendidikan, pertahanan, dan kesehatan.
Namun kini, praktik wakaf kita berjalan sendiri-sendiri, minim pemahaman maqashid, dan jarang sekali dikaitkan dengan penyelesaian masalah umat secara strategis. Sering kali, wakaf dipandang hanya sebagai simbol ibadah, bukan sistem pembangunan sosial. Padahal, jika dikelola secara profesional dan modern, wakaf bisa menjadi alternatif pembiayaan umat yang bebas riba, bebas hutang luar negeri, dan penuh berkah.
Saat masyarakat Muslim mulai tergerak untuk mewakafkan tanah, kendaraan, saham, bahkan hak kekayaan intelektualnya demi kepentingan umat, maka saat itu pula kita sedang membangun kembali fondasi peradaban. Wakaf harus naik kelas dari sekadar instrumen ibadah menjadi strategi pembangunan. Kita perlu berhenti mewakafkan apa yang tidak kita pakai, dan mulai mewakafkan apa yang paling kita cintai. Karena seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Kamu tidak akan mencapai kebaikan yang sejati, sampai kamu menginfakkan sebagian dari apa yang kamu cintai.”
Sudah saatnya umat Islam di Indonesia memandang wakaf bukan hanya sebagai amal kebaikan, tetapi sebagai proyek peradaban. Wakaf bukan tugas satu-dua orang kaya, bukan pula monopoli ulama atau lembaga keuangan syariah. Ini tugas kolektif seluruh umat. Wakaf harus direncanakan, dimanaj, dan dijaga dengan amanah. Sebab di sanalah letak kekuatan umat: membangun keberkahan dari harta yang ditahan, untuk manfaat yang terus mengalir.
Jika umat masih nyaman dengan sedekah konsumtif, kita akan terus berkutat pada masalah yang sama: jangka pendek, tidak tuntas, dan tidak berdaya. Tapi jika umat mulai membiasakan sedekah strategis melalui wakaf, kita akan menyaksikan lahirnya sekolah tanpa biaya, rumah sakit tanpa antrean, dan generasi masa depan yang tumbuh dalam sistem pendidikan dan pelayanan yang mandiri.
Wakaf adalah warisan besar, yang kini menunggu untuk dihidupkan kembali. Pertanyaannya: apakah kita siap menjadikannya sebagai jalan menuju peradaban Islam yang unggul?