وَيَٰقَوْمِ لَآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِىَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ ۚ وَمَآ أَنَا۠ بِطَارِدِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ۚ إِنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ رَبِّهِمْ وَلَٰكِنِّىٓ أَرَىٰكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui”. (QS. Hud , 29)
Dakwah itu kewajiban syariat dan juga keperluan kemanusiaan (ضرورة شرعية و ضرورة بشرية). Tuntutan ini berlaku pada setiap individu, jika kita melihat teks ayat bahwa “Kalian adalah sebaik2 umat umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, Ali Imran 110). Kebaikan inilah yang mendorong manusia diberikan beban dakwah di pundak mereka.
Namun, dengan berbagai kondisi yang ada, tuntutan berdakwah dalm makna yang khusus belum tentu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Hambtan itu adakalanya menyangakut kemampuan keilmuan, fisik, harta, situasi ipoleksosbud dan lainya, sehingga tuntutan syariat sulit dilaksanakan.
Pada aspek finansial, seringkali menjadi hambatan mengapa dakwah tidak begitu diminati. Lihatlah bagaimana perbandingan yang ‘njomplang’ antara peminat masuk fakultas dakwah dengan fakuktas yang lainya. Dalam isu globlalisasi, banyak yang menyebutkan hal ini karena faktor ketersediaan dan jaminan kerja pada masyarakat industri dan produksi. Masuk dunia industri “Lebih menjanjikan” dibanding aktifitas dakwah yang kadang banyak dicemooh, dicurigai, diancam, diintimidasi, dan tidak dihitung secara ekonomi.
Dai sebagai juru dakwah, memang berada dalam posisi sulit. Saat terjadi permasalahan sosial, juru dakwah dipanggil untuk mendamaikan. Dilibatkan dalam menghibur masyarakat yang sedang susah, agar warga selalu bersabar. Sebagianya, saat masyarakat sudah berkembang dan tumbuh, juru dakwah mulai disingkirkan. Dituduhlah macam macam, hingga dipenjarakan dan lain lain. Kondisi ini banyak dikisahkan dalam alQuran, sebagai ibroh kehidupan.
Dalam kontek ayat, pesan Rabbaniyah, ayat diatas menjadi pedoman, bagaimana kewajiban ini dilaksanakan dan sang dai disuruh berhati-hati. Hal tersebut dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, dalam kitab tafsirnya (14 H), kata beliau,
“Makna kata : (بطارد الذين آمنوا) mengusir mereka dari ku. Allah mengkabarkan perkataan Nuh kepada kaumnya (و يا قوم لا أسألكم عليه من أجر) aku tidak meminta dari kalian upah atas apa yang ku sampaikan kepada kalian berupa rahmat –yang kalian tidak tahu.( إن أجري إلا على الله) ganjaranku hanya dari sisi Allah, karena Dia yang memerintahkanku untuk menyeru kalian kepadanya serta menjanjikan pahala dari-Nya. Firman-Nya (و ما أنا بطارد الذين آمنوا) Aku tidak akan mengikuti permintaan kalian mengusir orang-orang yang beriman, karena mereka akan bertemu dengan Rabb mereka, Dia akan menghitung dan membalas amalan-amalan mereka. Bagaimana mungkin aku mengusir mereka dari mendengar kebenaran, mempelajarinya, dan beramal dengannya, sehingga mereka meraih kesenangan yang sempurna. Karena kemuliaan adalah dengan bersihnya hati, jiwa yang suci, iman yang lurus, dan amal saleh, bukan dengan kedudukan, harta, dan pangkat—sebagaimana yang kalian sangka, oleh karena itu, aku (أراكم قوما نجهلون) melihat kalian sebagai kaum yang bodoh.
Beliau memberikan catatan terhadap ayat ini terkait “Makruhnya mengambil upah dari kegiatan dakwah, taklim keagamaan, dan Wajibnya memuliakan orang-orang lemah, kehormatan mereka. Haramnya merendahkan dan meremehkan mereka”. Satu pesan moral yang membuat para pelaku dakwah lebih berhati hati.
“Upah”, satu istilah yang sudah dikenal dalam kehidupan, ia didapat dengan kerja sebagai imbalannya. Ada MoU yang dibuat bersama, bahkan diatur dalam kehidupan bernegara dengan kementerian tenaga kerja. Dijamin undang undang, antara hak dan kewajibannya, bisa saling gugat didepan pengadilan, dll.
Apakah dakwah sama dengan dunia kerja, dengan istilah upah?? Secara sosiologis memang, dakwah bukan bagian dari dunia kerja. Karena dakwah dilakukan sebab tuntutan Ilahiyah dan kemanusiaan. Ia masuk dalam aktivitas sosial, dilakukan karena kesadaran sosial. Maka siapa yang seharusnya menjamin kehidupan para juru dakwah ini??? Sementara mereka tidak boleh meminta imbalan dari kegiatanya!
Dalam pengarahannya Katua MUI KH. Akhyar menyebutkan bahwa, ” Negara dan agama itu mitra, negara melindungi agama”. Kalo begitu, negara sejatinya memiliki tugas memberikan pelayanan kepada juru dakwah sebagaimana negara memberikan pelayanan kepada sektor sektor yang lainya. Terlaksananya kemitraan ini, adalah wujud dari sila “Katuhanan Yang Maha Esa” sebagai pedoman bernegara.
Jadi, tuntutan Allah terkait ayat tadi, memang tidak bisa berdiri sendirian. Ia perlu daya dukung dari kepentingan negara dan komunitas yang besar. Mengubah kondisi sebagai tujuan dakwah perlu itu semuanya, juru dakwah adalah bagiannya. Dalam mengubah masih banyak yang harus disipakan, seperti medianya, dananya, caranya, dll.
Jadi? Jika juru dakwah ada yang memberikan rezeki dari apa yang dilakukan, diterima atau ditolak? Tata niat dan lakukan aktivitas dakwah itu secara maksimal, “mungkin” agar balasan bisa diterima. Seperti tanam padi, tumbuh rumput. Begitulah renungannya.