BEIRUT – Ledakan yang terjadi di Beirut pada 4 Agustus setara dengan sepersepuluh kekuatan bom Hiroshima. Upaya besar pun sedang dilakukan untuk membuat situasi kembali normal.
Tentara ada di mana-mana untuk menjaga keamanan, menghindari penjarahan, melindungi situs sensitif, memastikan lalu lintas, dan lalu lintas kendaraan darurat.
Gambaran itu disampaikan Pierre Balanian dalam artikelnya berjudul “Beirut, Young Christians and Muslims: The Thread of Hope” di laman Asia News. Dia juga menggambarkan Otoritas Pertahanan Sipil di Lebanon yang berjibaku mengeluarkan tubuh korban yang berada di bawah reruntuhan.
Kota Beirut diselimuti puing-puing, kaca, pepohonan terkena ledakan, dan rumah-rumah tanpa dinding seperti panggung yang suram menjadi pemandangan nyata dari kehidupan yang tiba-tiba terputus. Kalangan orang tua yang kesepian ingin membersihkan rumah mereka tetapi tidak memiliki kekuatan atau keberanian dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Mereka menangis, berdoa, berharap, menyembunyikan wajah mereka karena rasa malu, sakit, dan tidak berdaya. Dalam keputusasaan ini, kekuatan sejati suatu bangsa telah bangkit. Kekuatan ini merupakan energi baru untuk masa depan, energi yang bersih, dinamis, dan budak kepentingan politik atau ekonomi. Ya, kekuatan itu adalah pemuda.
Para pemuda berdatangan dari mana-mana. Dari utara, dari selatan, dari pegunungan, yang diorganisasi dalam kelompok-kelompok kecil pertemanan, yang dipersenjatai dengan sikat, sekop, sarung tangan dan tas.
Mereka tidur di tempat terbuka, bekerja tanpa bicara, tanpa membual, mereka bertindak dalam keheningan, tanpa pemimpin, tanpa koordinator, tidak terorganisir. Tetapi efek yang mereka hasilkan sangat mencengangkan.
Mereka membersihkan, menyapu jalan dan trotoar, bangunan umum, klinik, rumah sakit, dan tempat ibadah. Seperti lebah atau semut, mereka bekerja tanpa lelah, tanpa mencela, siap menghibur siapa saja yang menderita, berpelukan, menawarkan air, sandwich, buah, dan makanan yang hangat.
Tempat-tempat logistik bermunculan setiap 10 meter, yang menawarkan botol air, makanan, dan buah. Semua dikumpulkan atas inisiatif sendiri. Sumbangan dari keluarga, teman, kerabat. Seorang pemuda berusia 20 tahun, Leila Mkerzi menuturkan, keberadaannya di Beirut karena dia memiliki tugas moril membantu para korban ledakan itu. “Itu tugas kita,” kata dia, sambil membersihkan tangga bekas reruntuhan akibat ledakan.
Kelompok lain, tiga pria muda dan seorang wanita, berada di depan sebuah toko. Mereka membeli sikat, tas dan sarung tangan dengan uang mereka sendiri. Pedagang tidak memberi mereka diskon apapun. “Kami tidak menginginkan apa pun, kami hanya ingin hidup,” kata salah satu remaja putra.
Orang tuanya, Ibu Rita Freim, langsung menimpalinya dengan mengatakan bahwa mereka enggan banyak berpikir. Dia merasa kepalanya benar-benar kosong. “Kami tidak mengandalkan siapapun lagi. Tidak ada orang dari luar negeri yang pernah melakukan sesuatu yang konkret untuk kami.
Apa yang sedang dilakukan dunia? Mereka mengirim kami dua atau tiga pesawat bantuan, mereka menenangkan hati nurani mereka dan kemudian pergi. Apa tujuan Macron (Presiden Prancis)? Lelucon yang lain. Saya tidak punya harapan lagi,” kata Freim.
Di jalan-jalan Beirut yang hancur, ada puluhan ribu anak muda. Mulai dari teman sekolah, mahasiswa, pramuka, umat paroki, Muslim, hingga Kristen. Sekelompok anak muda dari Chouf menolak menyebutkan siapa di antara mereka yang merupakan Druze.
Sementara, sekelompok orang Armenia dari Bourj Hammoud, lingkungan lain yang hancur, mengatakan, “Kami orang Lebanon dan hanya itu”.
Sebagian besar anak muda ini lahir setelah 2005-2006. Mereka tidak mengetahui kengerian perang saudara. Tetapi mereka telah melihat perampasan dan pemerintahan yang gagal. Mereka hidup tanpa listrik, air minum, dan pekerjaan. Mereka ingin menciptakan negeri yang lebih baik dengan tangan mereka sendiri, masa depan yang lebih baik tanpa mengharapkan apapun dari luar negeri.
Tentu saja mereka berharap mendapatkan dukungan atau bantuan. Jika tidak datang, mereka akan melakukan apa yang mereka bisa dengan kekuatan mereka sendiri. Sebagian dari mereka juga termasuk pengungsi muda Suriah di Lebanon. Ini memang bukan negara mereka, tapi rasa sakit dan keinginan untuk berubah menyatukan mereka dengan orang Lebanon. “Saya hanya melihat pada seorang pendeta yang membagikan sandwich dan botol air kepada para pengungsi Suriah.”