MEMBACA KEKUATAN HUKUM SURAT EDARAN KEMENAG RI (6-2020)
Senin (6/4/2020) kemarin, Surat Edaran KEMENAG RI Nomor: 6/2020 tentang “Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H Ditengah Pandemi Covid-19”, keluar. 17 point diturunkan oleh Pak Menag RI terkait 8 hal: taraweh, tadarus, buka puasa dan sahur, peringatan Nuzulul Qur’an, i’tikaf, zakat, dan Idul Fitri.
SE: 6/2020 ini mengatur hal fundamental: hak asasi beragama. Lebih tepatnya “rukun agama” seluruh rakyat Indonesia. Memang duduk perkaranya dimana?
Sejak tahun 50-an, perdebatan tentang kekuatan dan kedudukan Surat Edaran (SE), sudah dipersoalkan, dalam tertib sumber hukum, berikut kekuatannya dalam mengatur kebijakan yang sifatnya nasional. Apalagi yang diaturnya “lebih besar pasak daripada tiang”, oleh hanya seorang Menteri “kontroversi” setingkat surat edaran pula.
Pertama:
SE tidak termasuk norma hukum dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan. SE tidak lebih dari Peraturan Kebijakan (beleidsregel) atau Peraturan Perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) yang sifatnya parsial dan incomplete, juz’i atau ‘unshuri.
SE tidak masuk daftar Peraturan Perundang-undangan sesuai amanah UU No.10/2004 dan UU No.12/2011. Maka itu, SE tidak mengenal sanksi, dan tidak memiliki implikasi sanksi.
Diksi “ditiadakan” dalam bunyi SE Kemenag tersebut, dalam dihierarki tata hukum nasional, sangat incompatible bila dilakukan oleh satu kementerian. Karena peniadaan sebuah norma; punya efek, konsekuensi, sekaligus kompensasi “uwane piro”. Sama seperti menyuruh isteri atau anak gadis pakai hijab, sementara busana hijabnya tidak disediakan oleh sang Suami. Bagaimana ceritanya?
Satu hal penting, bahwa SE out sider dari instrumen saudara-saudaranya: UUD 1945 | TAP MPR | UU/PERPU | PP | PERPRES | PERDA PROVINSI | PERDA KABUPATEN/KOTA.
SE tidak lebih dari: Pemberitahuan | Penjelasan | Petunjuk Pelaksanaan. Untuk menguatkan dirinya SE membutuhkan “ASAS KETERKAITAN”, karena itu SE Kemenag (6/2020) ini menggandeng Fatwa MUI No.14/2020 terkait Covid-19.
Kemenag menyadari kelemahan dan “kesendiriannya” dalam pengaturan 8 point tersebut. Hal ini terlihat pada point (D),di sana disebutkan bahwa SE ini terbit atas SE Sekretaris Jenderal Kemenag No.: 069-08/2020 dan Fatwa MUI terkait. Yang diulanginya kembali di point (8) “Pelaksanaan salat Idul Fitri yang lazimnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di masjid dan di lapangan ditiadakan, untuk itu diharapkan terbitnya Fatwa MUI menjelang waktunya.”
Seorang kawan yang ahli hukum di WAG menyindir “SE 620 Kemenag ini tumpang tindih dengan Fatwa MUI 1420. Fatwa MUI masih mengenal pengkhususan-pengecualian. SE 620 melockdowns kegiatan keagamaan”. Jadi SE 620 ini cacat hukum, ditingkat objek formal dan objek materiilnya.
Kedua:
Norma agama, moral, dan adat; tumbuh dan berkembang secara tidak tertulis di tengah masyarakat, selama berabad-abad. Dalam kaitan ini, kawasan zona aman Covid-19.
Artinya SE ini bisa dipandang, menyalahi norma dasarnya: teori maupun konsepsi. Apalagi bab sholat maupun puasa, tidak termasuk bagian dari materi UU. Zakat dan Haji ada UUnya, sementara sholat dan puasa belum ada UUnya.
Tidak sedikit pihak yang bertanya, mengapa SE ini hanya mengatur ibadat ummat Islam, sementara ibadat golongan lain tidak termasuk dalam muatan materiil SE ini, secara simultan, sebagai sesama warga negara. Semoga kita belum lupa, awal dilantik menjadi Kemenag, Rabu (23/10/2019), dengan bangga ia mengatakan “saya bukan menteri Agama Islam”.
Ketiga:
Bahwa penetapan tingkat darurat sebuah pandemik dalam pandangan syar’i dan kauni harus punya tahapan dan standar zonasi yang terukur, mengingat dua hal,
(1) tabiat hukum Islam yang selalu mengenal pengkhususan (takhsish wal istitsna’). Kaedah ini,antara lain, ditarik dari tiga doa Nabi (saw), dua diterima satu ditolak. Masjid Ijabah yang letaknya 385 meter utara TPU Baqi’ Gharqad di Madinah menjadi bukti historisnya.
(2) mengingat Indonesia adalah kawasan Nusantara (wilayah kepulauan) yang tersebar dan membentang luas dari Sumatera ke Papua.
“Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus Corona”, demikian salah diktum Fatwa Covid-19 MUI.
Dalam perspektif Islam sebuah pertimbangan, tidak boleh ditetapkan semata-mata atas standar dan pertimbangan duniawi dan manusiawi an sich, dengan melupakan solusi ilahiat sebagai zat yang menurunkan penyakit sekaligus penyedia obat dan jalan keluarnya.
Dalam HR ‘Aisyah (radhiyallahu’anha) disebutkan, bahwa sikap kehati-hatian tidak cukup mensiasati takdir.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
لاَ يُغْنِي حَذَرٌ مِنْ قَدَرٍ ، وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ ، وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ ، وَإِنَّ الْبَلاَءَ لَيَنْزِلُ فَيَتَلَقَّاهُ الدُّعَاءُ فَيَعْتَلِجَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Sikap berhati-hati itu tidak akan mencukupi takdir. Sedangkan doa, bermanfaat terhadap apa yang sudah diturunkan dan yang belum diturunkan. Manakala musibah turun lalu bertemu dengan doa yang dipanjatkan akan saling bertikai (manakah yang lebih kuat) sampai hari Kiamat.”
(HR al-Hakim, al-Mustadrak no.: 1813, Shahihul Jami’ (7739).
قال الحافظ ابن حجرٍ رحمه الله: “قال الطيبيُّ: أُمِروا باستدفاعِ البلاء بالذِّكر والدعاء والصلاة والصدقة”.
(الفتح ٢/ ٥٣١) (شرح الأبي ٣/ ٥٤) (شرح الكرماني ٦/ ١٣١)
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani (rahimahullah), berkata Imam al-Thibi (Irak: w.743 H):
“Kita diperintah untuk mencegah bala dengan dzikir, doa, sholat, dan sedekah.”
(Kitab al-Fath, Juz 2:531), Syarah al-Abi (Juz 3:54); Syarah al-Kirmani (Juz 6: 131).
Dari kecil, guru-guru kita mengajarkan bahwa fungsi utama ibadat: sholat, istighfar, sedekah, doa, silaturrahim, akhlak mulia, dan sejenisnya; kesemuanya adalah amalan penolak bala’ dari sudut syar’i.
Butir-butir amalan penolak bala ini terkubur oleh SE Kemenag No. 6/2020. Solusi Syar’i dikunci mati, kalah kuasa oleh pertimbangan kauni ala WHO yang pragmatisme.
Hemat saya, akan lebih apik, bijak, dan cerdas, jika Pemerintah Daerah dengan arahan dari Pemerintah Pusat, dibantu oleh lembaga terkait menugaskan para petugas dan para relawan di zona aman dan rendah Pandemi -sebagaimana bunyi Fatwa MUI-, untuk mendampingi Masjid-Masjid Induk yang melaksanakan Sholat Jum’at secara terbatas. Sekali lagi secara terbatas, atau sholat taraweh berkala di sepuluh pertama, kedua, dan terakhir, selama beberapa hari, mengingat kesucian dan keutamaan bulan Ramadhan. Sekedar untuk berdoa dan memuaskan rohani, barang sebentar. Sebagaimana Khalifah Umar (رضي الله عنه) meminta paman Nabi (صلى الله عليه وسلم) Abbas bin Abdul Muthalib untuk memimpin sholat Istisqa’ di zamannya, karena negara sudah darurat pandemi.
Kemayoran Serdang (7/4/2020)
Al Faqir Ilaa ‘Afwi Rabbih
Abu Taw Jieh Rabbanie