واحلل عقدة من لساني يفقهوا قولي
“ dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 27-28)
“Masalah adalah tidak sesuainya kenyataan dengan pernyataan”, kata dosen logikaku saat itu. Akupun belum paham, apa maksudnya. Dalam sesi tanya jawab dijelaskanya lebih detail, ” masalah adalah tidak sesuainya suatu dalil, teori, konsep dengan waqiiyah, kenyataan lapangan, realitas”. Akupun jadi tambah paham. “Ternyata mengetahui saja tidak cukup ya pak?”, tanyaku. “Ya! Betul! Mengetahui sejatinya sebatas informasi awal bahwa sesuatu itu ada. Tapi apa sejatinya sesuatu itu bagi kehidupan ini, bagi kita, perlu difahami secara mendalam. Tujuanya agar ada manfaatnya bagi kehidupan seseorang”, tambah ‘mudeng’ penjelasannya.
Pandai saja tak cukup. Pintar saja belum berati. Mengetahui saja belum tentu bisa menunjukkan jalan yang benar. Mengerti, memahami adalah kelanjutan dari tiu semuanya. Nabi Musa meminta pemahaman yang mendalam terhadap persoalan lapangan yang sudah Dia ketahui. Bahkan Beliau meminta kepada Allah diberikan kemamlpuan berargumentasi agar pesan pesanNya mudah dimengerti.
Apa yang sering kita lihat dilapangan, ternyata tidak secara mudah kita pahami, apalagi untuk segera disimpulkan. Mengapa warga susah diajak belajar, ke Masjid, ibadah dll, belum tentu dapat kita simpulkan mereka orang orang yang malas. Belum tentu demikian, perlu proses memahami apa sejatinya penyebabnya.
Seorang dai di suatu kepulauan Sikakap Mentawai pernah melaporkan tentang hal serupa, masyarakat terutama laki-laki tidak mau ke Masjid. “Bagaimana kami bisa berdakwah, melakukan pembinaan”, Ia mengeluh sebagai laporan. Bahkan sebaiknya dipindah saja! Pintanya. Saya mengusulkan agar melakukan pendalam secara pelan pelan, amati agak lama.
Setelah ada beberapa pekan, bahkan bulan, sang dai mulai memahaminya apa yang sejatinya terjadi. Ia mulai memberikan kabar yang menggembirakan dan kelihatanya Ia puas, “Bang! Saya baru tau jawabannya. Mengapa mereka tidak pergi ke Masji, karena mereka mencari makan, yaitu sagu selama 5 hari perpekan ke hutan dan menginap disana”. Begitulah proses memahami lapangan.
Pekan pekan berikutnya sang dai mengusulakan apa yanga perlu dilakukan dengan kondisi seperti ini. Saya usulkan untuk segera perginke Dinas Pertanian atau penyuluhnya, bagaimana warga dilatih bertani dan diberikan benih padi. Tujuanya agar warga tidak jauh lagi dalam mencari bahan makan, sehingga warga lebih banyak waktu dan kesempatan bersama keluarga serta ke Masjid untuk dibina.
Dimusyawarahkanlah ide tersebut kepada warga. Mereka setuju dan memilihkan tanah adat sebagai proyek uji cobanya. Sukses dan sampai panen, akupun berkesemptan ikut panen perdananya. Begitulah masalah difahami dan menghasilkan solusinya. Masalah tidak sekedar diketahui, tapi harus menghasilkan pemahaman.
Begitulah sskurangnya ayat diatas membimbing kita, dengan pemahaman akan membuat seorang juru dakwah berfikir sofisticatet, menyeluruh, bertahap dan terencana. Katanya, “Think global, act lokal”, berfikirlah secara menyeluruh, dan lakukan dari yang kecil. Dakwah memerlukan suasana seperti ini.
Carilah ilmu, jangan lupa memahaminya agar banyak manfaat. Mengapa para dai dikirim kelapangan? Agar kemampuan memahami masalah semakin canggih. Kelapangan tidak untuk sekedar menjalani kewajiban studi, tapi lebih mulia dari hal tersebut. Jika Anda faham terhadap maslah, maka Anda akan bijak cara menyelesaikannya. Selamat berdakwah, semoga ilmu dan pemahaman dapat memecahkan masalah lapangan. Pertolongan hanya dari Allah, bukan yang lainNya.