“Berikan aku seribu orang tua akan aku cabut semeru dari akarnya, tapi berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia”. (Ir Soekarno)
Pemuda adalah energi dunia untuk berubah dan menjadi lebih baik. Begitupun dalam gerakan zakat, pemuda, dalam hal ini amil muda adalah energi masa depan zakat Indonesia. Ini bukan soal dikotomi tua dan muda. Bukan pula terkait siapa yang lebih baik diantara keduanya.
Dalam hidup, harus ada keseimbangan agar bisa harmoni. Para masayaikh (orang-orang tua) diperlukan untuk memberi kebijaksanaan dan hikmah, dan akan lebih lengkap bila ada para pemuda yang akan menyalakan kebijakan ini menjadi lebih kuat dan terimplementasi dengan baik. Orang tua punya wibawa, dan anak muda memiliki tenaga yang tak terhingga.
Wibawa yang dimiliki orang tua, sebagaimana didefinisikan oleh KBBI memiliki makna : “(1). Pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik, (2). Kekuasaan”.
Kebijaksanaan, wibawa dan kharisma orang-orang tua, para senior di gerakan zakat masih sangat diperlukan untuk memberi ruh dan arah yang benar bagi gerakan zakat di negeri ini. Dengan kebijaksanan-kebijaksanaan yang lurus, gerakan zakat ke depan diharapkan mampu terus bertahan lama dan tak lekang oleh beragam rintangan yang muncul menghadang.
Kebijaksanaan ini juga penting bagi ekosistem kepemimpinan gerakan zakat ke depan. Tanpa ada arah dan kebijaksanaan, nilai-nilai kepemimpinan tak akan tumbuh subur. Para pemuda yang kelak akan meneruskan gerakan zakat ini memerlukan arah kepemimpinan yang terus diperbaharui dari waktu ke waktu. Kepemimpinan gerakan zakat butuh ruh yang menguatkan untuk menyambungkan semangat dari generasi ke generasi.
Hikmatus Syuyukh wa Hammasatus Syabab
Kalau kita bicara kisah kolaborasi ideal bagaimana anak muda yang penuh semangat namun taat dengan orang tua yang bijak dan tetap bersemangat, maka kita layak bercermin pada kisah Nabi Ismail dan ayahandanya, Nabi Ibrahim. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahawa aku menyembelihmu. Maka, fikirkanlah bagaimana pendapatmu.’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’ Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar satu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”. (QS As-Saffat (37) : 102 – 108).
Walau istilah “Hikmatus Syuyukh wa Hammasatus Syabab” ini agak kurang biasa kita dengar, namun sejatinya istilah ini sebenarnya simpel, yakni soal kolaborasi antar generasi yang harmoni. Soal sebuah “bridging” antar ekosistem berbasis usia yang karena jarak dan waktu yang ada, bila tak terkelola dengan baik bisa menjadi bencana masa depan bagi sebuah gerakan kebaikan yang akan terus hidup berbilang waktu.
Makna hikmatus syuyukh (hikmah para syeikh) dan hammasatus syabab (semangat para pemuda) tak hanya dalam soal kurban seperti ayat di atas tadi, namun ini sangat luas dan berkenaan dengan soal-soal kehidupan lainnya. Dalam ayat di atas tadi, kita lihat betapa hikmahnya Nabi Ibrahim menuturkan kata-kata kepada anaknya, Nabi Ismail untuk mentaati arahan Allah untuk mengorbankannya. Dapat dilihat juga ketaatan seorang anak yang ditunjukkan oleh Nabi Ismail dalam menerima arahan dari ayahnya meskipun dari sisi pertimbangan manusiawinya agak tidak masuk akal.
Apa yang dilakukan Nabi Ismail bukan tiba-tiba dan tanpa proses. Ketaatan yang muncul dari diri Nabi Ismail terhadap arahan ayahnya, Nabi Ibrahim tentu saja disebabkan qudwah Nabi Ibrahim itu sendiri. Bila ayahnya seorang yang hebat dan taat, pribadi itu jugalah yang diikuti oleh anaknya.
Keshiqohan inilah yang dituntut dalam sebuah gerakan, yaitu menunjukkan qudwah yang terbaik dan bukan hanya tahu memberikan arahan semata-mata. Jadi proses ketaatan yang baik, lahir dari kepercayaan yang penuh dan tanpa keraguan. Inilah potret harmoni sebuah relasi yang indah.
Maka, dalam sebuah gerakan, seorang syuyukh (orang tua) perlu menunjukkan qudwah yang terbaik dan para syabab perlu menjadikan ia sebagai contoh terbaik untuk diikuti di samping semangat untuk berbuat baik yang luar biasa. Kedua unsur ini harus muncul secara harmoni.
Dalam gerakan zakat, generasi kolonial dan generasi milineal harus hidup berdampingan. Tidak boleh di dalam gerakan zakat ini, hanya para syuyukh saja yang berusaha tanpa kehadiran semangat para syabab. Tidak bagus juga semangat syabab yang melonjak-lonjak hadir tanpa kehadiran hikmah dan nasihat para syuyukh.
Namun kata “muda” sendiri, kini telah mengalami perluasan makna. Ia bukan soal usia, namun spirit dan daya juang. Jadi siapapun yang spirit dan daya juangnya terus menyala, ia bisa saja disebut muda.
Para pemuda, dalam seluruh dimensi dan maknanya, sebagaimana dalam kisah para assabiqunal awwalun pada jaman dakwah awal Rasulullah Muhammad SAW, mereka adalah para pelopor perubahan. Walau ketika itu hanya berjumlah 45 orang, yang terdiri dari 40 pria dan 5 orang wanita, tapi inisiatif dan kontribusi dari mereka luar biasa bagi kemajuan dan perkembangan Islam. Sebagaimana kita tahu, dari kontribusi mereka, Islam yang mulia ini berkembang pesat dan bahkan pernah menguasai hingga dua pertiga bumi.
Dari pelajaran ini, hendaknya setiap amil zakat harus memiliki karakter hikmatus syuyukh wa hamastus syabab. Keberadaannya harus senantiasa membawa inspirasi, untuk yang lebih muda darinya, yang sebaya dengannya dan juga untuk yang lebih tua darinya. Semangat muda dan terus berkarya bagi masa depan bangsa dan umat tidak di simpan sendiri. Bila semangatnya hanya untuk diri sendiri, maka untuk apa ia bergabung dengan gerakan dakwah zakat ini.
Salah satu kunci kesuksesan setiap amil yang bergabung dalam gerakan dakwah adalah dengan menjadi pribadi yang kokoh dan selalu berjiwa muda, berapa pun usia biologisnya. Lalu apa syarat seorang amil zakat untuk menjadi pribadi yang kokoh? Taat kepada Allah ta’ala.
Umar ibn Khattab RA pernah berkata “kita ini dimenangkan Allah karena ketaatan kita kepada Nya. Maka jika kita sedikit saja tidak taat kepada Nya, maka akan dengan sangat mudah kita dikalahkan oleh musuh musuh kita”. Dan kokoh itu berarti taat. Jadi amil yang kokoh pribadinya, tua atau muda usianya, ia harus senantiasa taat pada Allah SWT.
Para pemuda dan orang-orang yang berjiwa muda senantiasa memiliki energi tambahan untuk banyak orang. Lebih dari itu, ada juga spirit keberanian yang dimiliki untuk berbuat selalu berbuat kebaikan. Dalam dirinya tak semata kepentingan-kepentingan pribadi yang menguasai jiwa-nya, namun tak kalah kuat, tumbuh pula semangat untuk mengabdi pada negeri yang ia cintai sepanjang hidupnya.
Begitu pula para amil muda saat ini. Mereka yang kian tumbuh di sejumlah kota-kota utama di negeri ini terus hadir menjadi pembukti bahwa ada anak-anak muda yang memulai merintis kecintaannya pada negerinya dengan fokus membagikan kepedulian lewat pengelolaan dunia zakat dan filantropi Islam lainnya. Mereka bergerak massif, mengikatkan diri satu sama lain, agar kemanfaatan mereka terus menguat dalam menebar beragam manfaat.
Amil muda hadir di tengah-tengah gerakan zakat Indonesia untuk terus menyalakan semangat perbaikan gerakan. Dengan keberanian dan keteguhan yang dimiliki para amil muda, spirit ini semoga senantiasa menguatkan dan memperluas manfaat zakat bagi umat dan bangsa. Amil muda juga, dengan karakternya yang khas, akan berusaha mengembangkan gerakan zakat untuk lebih baik. Amil muda sebagai agen perubahan (agent of change) dunia amil zakat akan menyambungkan terus cita-cita gerakan zakat ini.
Kalau Bung Karno berteriak dengan lantang: “Berikan aku seribu orang tua akan aku cabut semeru dari akarnya, tapi berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia”. Maka dunia zakat dapat pula meneriakan: “Berikan gerakan zakat seribu orang amil, maka akan aku cabut kemiskinan dari akarnya, dan berikan gerakan zakat sepuluh amil muda, niscaya akan ada percepatan dan perbaikan gerakan zakat Indonesia”.
Kalimat pentingnya amil muda yang senafas dengan teriakan Bung Karno mungkin terkesan klise, bombastis dan berlebihan. Namun harus disadari bersama oleh kita, bahwa memang memperbaiki dunia zakat, diperlukan bukan hanya kemampuan, pengalaman dan kebijaksanaan saja, didalamnya butuh keberanian layaknya yang melekat pada para amil muda.
Mereka ada ditengah gerakan zakat ini tanpa beban sejarah dan hambatan masa lalu, mereka hadir penuh antusias dan tak banyak kepentingan macam-macam. Mereka juga berlimpah energi positif yang segar dan penuh vitalitas.
Di tangan amil muda, semoga gerakan zakat Indonesia bisa tumbuh lebih baik, lebih hebat dan penuh makna serta lebih efektif. Di tangan anak-anak yang menyebut dirinya amil muda, semoga lokomotif gerakan zakat Indonesia jauh lebih cepat menggapai cita-cita dunia zakat, yakni membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi umat dan bangsa.
Semoga.
#Ditulis di sebelah Barat Kota Yogyakarta, Senin Pagi, 10 Februari 2020.