Oleh: Dr. Adian Husaini
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.
Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.
Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.
Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. Banyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Mereka buta terhadap Ilmu-ilmu al-Quran, hadits, bahasa Arab, ilmu fiqih, dan sebagainya. Sementara di lingkungan Perguruan Tinggi Islam telah banyak terjadi confusion of knowledge dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu perbandingan agama, misalnya, dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman. Ulumul Quran dirusak dengan masuknya studi kritis terhadap al-Quran yang berujung kepada keraguan terhadap al-Quran.
Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].
Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliaua dalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri — sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (*)