Jakarta, Dewan Da’wah News – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) oleh sejumlah pihak dapat menjadi solusi untuk menghentikan kriminalisasi seksual khususnya yang sering dialami perempuan.
RUU tersebut sejak kemunculannya di tahun 2016 sudah menuai kontroversi. Pemerhati keluarga, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengatakan RUU P-KS perlu dikritik dan diwaspadai, demikian diungkapkan saat bersama sejumlah lembaga dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang rapat Fraksi PKS, Senayan, Jakarta, Selasa, (31/05/2016).
Akhir-akhir ini RUU tersebut semakin hangat dibincangkan sebab menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily semua anggota Komisi VIII DPR-RI berkomitmen mengesahkan RUU P-KS sebelum pergantian periode DPR saat ini.
Menindaklanjuti rencana pengesahan undang-undang tersebut, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini melalui siaran persnya pada Kamis (07/02/2019) mengatakan bahwa RUU P-KS bertentangan dengan Pancasila dan nila-nilai agama sehingga diperlukan perubahan. Lebih lanjut, ia mencatat beberapa poin kritikan dan solusi sebagai berikut:
Pertama adalah definisi kekerasan seksual dalam RUU. RUU mendefinisikan kekerasan seksual pada Pasal 1 huruf (a) sebagai: Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
PKS mengkritisi pasal tersebut dengan alasan:
(1) tidak fokus, melebar ke permasalahan di luar tindak kejahatan seksual (ekses pernikahan, kontrasepsi, dan aborsi);
(2) tidak memberikan batasan mengenai istilah “merendahkan”, padahal kata tersebut cenderung subyektif/relatif sehingga berpotensi disalahgunakan, dan tidak memperhitungkan risiko korban dapat kehilangan nyawanya oleh tindakan kejahatan seksual;
(3) memasukkan unsur “hasrat seksual” yang luas yang dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual yang menyimpang;
(4) menggunakan istilah “relasi kuasa” yang dapat disalah-pahami dengan “relasi suami-istri”, sehingga berpotensi menimbulkan polemik dalam kehidupan berumah-tangga.
Atas dasar itu, Fraksi PKS telah mengajukan usulan definisi menjadi sebagai berikut: “Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan terhadap tubuh dan fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa”.
Merujuk definisi tersebut, Fraksi PKS telah mengusulkan untuk menggantikan istilah “kejahatan seksual” dengan istilah “kekerasan seksual” berikut alasan:
(1) menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih tegas sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian;
(2) istilah kejahatan seksual juga sudah digunakan dalam peraturan lain seperti pada UU Perlindungan Anak.
Kedua, Fraksi PKS mengusulkan untuk fokus dalam lingkup tindak pidana kekerasan seksual sehingga tidak melebar ke luar UU tersebut. Fokus hanya pada tindak kejahatan seksual yaitu antara lain:
a. Pemerkosaan
b. Penyiksaan seksual
c. Penyimpangan perilaku seksual
d. Pelibatan anak dalam tindakan seksual
e. Inses
Pembatasan tersebut sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini. Beberapa poin yang disoroti PKS adalah:
a. pelecehan seksual: didefinisikan pada Pasal 12 sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
PKS menilai definisi tersebut tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak sehingga dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang, seperti kritik masyarakat terhadap perilaku menyimpang LGBT dan gaya berpakaian muda-mudi bahkan seks di luar nikah yang sudah demikian parah datanya.
Harusnya hal-hal tersebut tidak dikriminalisasi atas nama pelecehan seksual. Padahal sejatinya kritik tersebut justru menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila dan agama. Bahkan semestinya RUU mengatur dangan tegas larangan perilaku menyimpang seperti LGBT.
b. pemaksaan aborsi: didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.
PKS menilai definisi ini jangan sampai dipahami bahwa aborsi menjadi boleh selama tidak ada unsur “memaksa orang lain”. Tingkat aborsi di luar nikah sangat tinggi, antara lain sebagai ekses perilaku seks bebas/seks di luar nikah. Untuk mencegah hal itu maka aturan pelarangan aborsi (kecuali alasan yang sah secara medis) harus diatur terlebih dahulu dalam RUU.
c. pemaksaan perkawinan: didefinisikan pada Pasal 17 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.
PKS menilai definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak) sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya ‘memaksa’ menikah. Padahal bisa jadi permintaan/harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya.
d. pemaksaan pelacuran: didefinisikan pada Pasal 18 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.
PKS menilai definisi tindak pidana harus dilengkapi dg pengaturan bahwa pelacuran dan/atau perzinahan atas alasan apapun secara prinsip Pancasila dan agama dilarang di republik ini. Sehingga secara otomatis pemaksaan pelacuran dan/atau perzinahan menjadi tegas terlarang.
e. perbudakan seksual: didefinisikan pada Pasal 19 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.
PKS menilai definisi itu harus diperjelas agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan seksual suami-istri yang sah. Terlebih lagi, RUU menegaskan bahwa kekerasan seksual di atas adalah peristiwa dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.
Editor: Tamam