Di berbagai media masih terus bertebaran opini yang memandang bahwa Permendikbud Ristek No 30 patut didukung karena membela para korban kekerasan seksual. Yang dimaksud “korban” kekerasan seksual, adalah orang yang mengalami kekerasan seksual – tanpa persetujuan orang itu.
Nah, kata pendukung Permendikbud Ristek No 30 tersebut, ungkapan “tanpa persetujuan korban” itu bukan berarti melegalkan seks bebas di kampus. Sebab, masalah seks bebas itu sudah diatur oleh peraturan-peraturan lainnya. Jadi, Permendikbud itu hanya fokus terhadap penanganan korban kekerasan seksual. Sedangkan para sivitas akademika yang melakukan kejahatan zina atas dasar persetujuan dan saling suka, maka tidak perlu diatur dalam Permendikbud tersebut.
Itulah cara berpikir yang patut ditinjau kembali.
Kita bisa menyimak satu kasus yang menimpa mahasiswi di Jawa Timur.
Ia akhirnya melakukan aksi bunuh diri disamping makam ayahnya, karena tidak tahan dengan penderitaan jiwa yang dialaminya. Padahal, ia melakukan aksi perzinahan dengan pacarnya secara sukarela, tanpa ada paksaan. Jelas, si mahasiswi itu korban kejahatan seksual.
Berikut ini kutipan berita di suatu media :
“Seperti diungkap dalam konferensi pers yang dipimpin Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi supraptoyo di antara Novia Widyasari dengan Bripda Randy sudah berkenalan sejak November 2019 ditemukan juga bukti lain bahwa korban selama pacaran yang terhitung mulai bulan Oktober 2019 sampai 2 Desember 2021. Setelah itu melakukan tindakan aborsi bersama yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021. Selama pacaran Oktober 2019 sampai dengan bulan Desember 2021 sesudah melakukan tindakan aborsi yang mana dilaksanakan pertama adalah bulan Maret tahun 2020 yang kedua adalah bulan Agustus 2021.”
(https://portalsulut.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-853174934/inilah-fakta-fakta-kasus-bunuh-diri-novia-mahasiswi-ub-malang-setelah-dihamili-kekasihnya-anggota-polres).
Itulah contoh nyata, bahwa perzinahan yang terjadi dengan saling persetujuan, adalah kejahatan seksual yang sangat besar dosanya di mata Tuhan Yang Maha Esa.
Sudah cukup banyak penelitian yang menunjukkan maraknya praktik seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Maka, tugas para pendidik dan juga Pak Menteri Pendidikan adalah juga menangani masalah ini, sehingga sepatutnya, Permendikbud Ristek No 30 itu juga mencakup tentang kejahatan seksual, baik yang dilakukan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan; baik dengan paksaan atau tanpa paksaan !
Itulah yang disarankan oleh MUI, Muhammadiyah, Majelis Ormas Islam (MOI), dan banyak pakar pendidikan di Indonesia.
Beberapa pemberitaan yang mencuat seputar kekerasan seksual memang terjadi pada beberapa mahasiswi yang mengungkap kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosennya. Dosen yang disebut melakukan aksi bejat itu memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk melampiaskan hawa nafsunya kepada pihak yang lemah, yaitu mahasiswinya.
Tentu saja, dosen yang terbukti melakukan kekerasan seksual seperti itu tidak patut menjadi dosen, dan harus langsung dipecat serta dipidana.
Masalahnya, bagaimana jika antara dosen dan mahasiswi itu sepakat untuk berbuat zina, demi kemudahan kelulusan skripi, misalnya ?
Apakah mereka bukan korban ?
Tentu saja, dalam pandangan Islam, keduanya adalah korban, karena telah terjerumus ke dalam dosa besar. Mereka itu korban dari tipudaya setan.
Islam memandang zina adalah kejahatan yang sangat serius, sehingga hukuman zina begitu berat.
Pandangan alam (worldview) Islam itu sangat berbeda dengan worldview sekuler yang memandang zina bukan suatu kejahatan, asalkan dilakukan atas dasar saling persetujuan, dan sama-sama dewasa.
Di sinilah tampak perbedaan cara pandang yang mendasar dalam memandang soal kejahatan seksual.
Apakah mau menggunakan cara pandang agama atau menggunakan cara pandang bukan agama !
**
03 Januari 2022
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)