MENEPI, BUKAN PERGI
oleh : Satria Hadi Lubis
Kekecewaan Abu Dzhar Al Ghifari ra atas gaya hidup Khalifah Utsman ra yg berbeda dgn dua khalifah sebelumnya membuat beliau menyingkir dan menyendiri ke Rabadzah sampai akhir hayatnya. Beliau memilih menjadi “oposisi” pemerintahan Utsman bin Affan ra tanpa pernah berniat mengangkat senjata atau keluar dari jama’ah kaum muslimin. Bahkan suatu ketika ia pernah berkata, “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Hal yang sama dilakukan Khalid bin Walid ra, ketika diberhentikan Khalifah Umar dari jabatan panglima perang. Khalid tentu kecewa atas keputusan Umar ra, namun kekecewaan tersebut tidak membuat beliau membelot dan melawan Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra. Padahal kalau ia mau, ia bisa memobilisir para prajurit yang masih setia kepadanya untuk melawan pemerintahan Umar ra.
Khalid si pedang Allah tetap ikut berperang sampai akhir hayatnya walau hanya sebagai prajurit biasa. Suatu ketika ia ditanya mengapa tetap berperang walau sudah diberhentikan sebagai panglima perang, beliau menjawab dgn tegas, “Aku berperang bukan karena Umar, tapi karena Allah!”.
Lain halnya dengan kisah Wahsyi yang pernah membunuh paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Wahsyi akhirnya masuk Islam dan meminta maaf kepada Nabi saw atas perbuatannya yang pernah membunuh Hamzah ra. Nabi memaafkan Wahsyi, namun beliau berkata, “Jangan perlihatkan wajahmu lagi di hadapanku setelah ini karena setiap melihatmu terbayang wajah Hamzah bin Abdul Muthallib yang rusak dihancurkan olehmu saat itu”
Wahsyi merasa kecewa di dalam hatinya, namun ia tidak membelot dan melawan Nabi. Wahsyi sadar akan kedudukannya, ridha menerima ketentuan itu. Dia memperbaiki dirinya dan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah.
Sebagai penebus atas dosa-dosanya beliau bertekad untuk tidak akan pulang lagi ke Kota Mekah demi untuk merebut cinta kekasih Allah yaitu Muhammad saw. Wahsyi benar-benar ingin menebus kesalahannya dengan menyebarkan Islam. Niat Wahsyi itu telah dibuktikannya dengan menjelajah ke seluruh pelosok dunia untuk berdakwah mengajak sebanyak-banyaknya manusia memeluk kepada Islam, hingga akhirnya beliau wafat di luar Jazirah Arab.
Begitulah sikap para sahabat jika mereka kecewa terhadap jama’ah kaum muslimin, menepi tapi tidak pergi dari jama’ah.
Mereka tetap mengakui kepemimpinan jamaah, tetap taat dan ikhlas beramal untuk jamaah, walau sadar tidak memiliki peran yang signifikan lagi dalam jama’ah.
Sikap semacam inilah yang perlu ditiru aktivis dakwah jika mereka kecewa dengan kepemimpinan jama’ah. Jika tausiyah sudah diberikan, namun qiyadah tetap pada kebijakannya, maka menepi sajalah dan jangan pergi (keluar).
Tetaplah bekerja dalam dakwah.
Tidak usah membentuk gerakan baru.
Selain menguras sumber daya dan waktu, toh rezim kepemimpinan jama’ah juga bisa berubah. Bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini? Yang tadinya memimpin sekarang tidak lagi memimpin, begitu pun sebaliknya yang tadinya tidak memimpin sekarang menjadi pemimpin.
Pergi dari jama’ah bukan solusi, malah menimbulkan masalah baru dan mengusik pertanyaan baru : Begitu rapuhkah kita dengan janji kebersamaan yang selama ini telah membesarkan kita?
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)”(Surat Al-Ahzab, Ayat 23).