Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.
Beginilah kamu! Kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukaimu, dan kamu beriman kepada semua kitab. Apabila mereka berjumpa kamu, mereka berkata, “Kami beriman,” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari karena marah dan benci kepadamu. Katakanlah, “Matilah kamu karena kemarahanmu itu!” Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.
Jika kamu memperoleh kebaikan, (niscaya) mereka bersedih hati, jika kamu tertimpa bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu sedikit pun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan.” (QS Ali Imran: 118-120, teks terjemah dari Al-Quran dan Tafsirnya, terbitan Kementerian Agama RI, 2010).
***
Tafsir Kementerian Agama RI (2010), menjelaskan, bahwa makna kata bithanah tak jauh maknanya dengan bithan, yang bermakna: “kain penutup perut kuda agar tidak dikerubungi lalat.” Bithanah juga bisa berarti kain pelapis baju seperti jas. Jadi, dalam ayat ini, bithanah berarti: “orang terdekat, orang kepercayaan, pengiring, atau sahabat karib dan akan mengetahui batin (rahasia) kita.”
Tafsir Kementerian Agama RI mencatat: “Bagaimana pun sebab turun ayat ini, namun dapat dipahami bahwa Allah melarang mengambil orang kafir yang telah nyata niat jahatnya terhadap mukmin sebagai teman akrab. Mereka adalah orang-orang musyrik, Yahudi, munafik dan lain-lain.”
Dalam Tafsir al-Azhar, Prof. Hamka menulis: “Maka ayat ini melarang orang mu’min berteman, berkawan demikian rapat dengan orang yang bukan dari golongan mereka sendiri. Bahayanya sangat besar. Karena sangat percaya kepada teman, padahal dia bukan dari golongan awak, bisa terbuka rahasia kelemahan awak.”
Lebih jauh, Hamka menjelaskan: “Kamu disuruh mempergunakan akal dan fikiranmu dalam menilai teman. Dengan perintah memperhatikan tanda-tanda itu, seorang mu’min yang mempergunakan akalnya, dapat menilik siapa yang kawan dan siapa yang lawan. Jadi, bukan berarti, jika kita telah mengira, bahwa orang ini bukanlah kawan, melainkan lawan, lalu kita putuskan hubungan sama sekali atau kita bermuka keruh kepadanya.”
Hamka, Ketua MUI pertama, mengingatkan berbagai peristiwa sejarah, saat terjadi pertentangan faham agama Islam, satu pihak kemudian mengambil teman pihak yang terang-terang memusuhi Islam, karena melepaskan dendamnya terhadap sesama Muslim. Tercatat, misalnya, Menteri besar Bani Abbasiyah zaman Khalifah al-Muktasim, membuka rahasia-rahasia kerajaannya kepada Bangsa Tartar, karena kebenciannya kepada khalifahnya sendiri. Itu karena Khalifah berfaham Ahlus Sunnah, sedangkan si Wazir beraliran Syiah.
“Dan pada zaman kita terakhir di Indonesia tercatat pula dalam sejarah, ada golongan Islam sendiri yang sudi bekerjasama dengan kaum komunis karena bencinya kepada sesama Islam…”, tulis Hamka, dalam tafsir yang ditulis tahun 1962 itu.
KH Bisyri Mushthafa, seorang ulama NU terkemuka dari Rembang Jawa Tengah, dalam Tafsir berbahasa dan berhuruf Jawi, al-Ibriz, menulis penjelasan tentang ayat ini: “Wong mukmin dilarang, ora diparengaken asih-asihan apadene medharake bab-bab kang rahasia marang wong kang sakjabane kalangan Islam, kaya wong Yahudi lan wong-wong munafik. Wong-wong iki ora bakal tinggal atawa leren usahane kanggo gawe kerusakan marang sira kabeh (umat Islam). Gethinge wong-wong iki marang umat Islam wus pertila saking pengucape. Anadene kang diandem ana ing atine iku sejatine malah luwih gedhe.” (Orang mukmin tidak boleh berkasih-kasihan apalagi mengeluarkan hal-hal yang rahasia kepada orang bukan Islam, seperti Yahudi dan munafik. Orang-orang itu tidak akan pernah berhenti usahanya dalam merusak kalian semua (umat Islam). Kebencian mereka sudah sangat jelas dari ucapan mereka. Adapun yang dipendam dalam hati mereka sejatinya lebih dahsyat lagi).
Mari kita renungkan makna ayat-ayat al-Quran ini! Dan tidak perlu terkejut ketika menjumpai sejumlah pihak yang memang begitu benci terhadap Islam serta memiliki sikap Islamofobia. Mereka memiliki rasa ketakutan terhadap Islam yang berlebihan, membabi buta, dan tidak masuk akal.
Tugas umat Islam adalah bersabar dan terus berusaha menyampaikan dakwah Islam dengan cara-cara yang bijak. InsyaAllah mereka akan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT, dan menangkap kebenaran Islam. Itulah yang dulu meluluhkan hati sejumlah tokoh pembenci Islam, seperti Umar bin Khathab.
Wallahu A’lam bish-shawab.