Oleh: Farizal, SEI
Mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam SEBI Program Studi Kepatuhan Syariah dan Fiqh Muamalah
Pengurus Bidang Wakaf, Ekonomi dan Aset Dewan Da’wah Lampung
Kita tengah menyaksikan suatu ironi di tengah kehidupan keagamaan umat Islam: di satu sisi, gelora dakwah terus menyala di berbagai forum, masjid, media sosial, dan ruang publik; namun di sisi lain, tak sedikit para dai dan guru agama yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, bahkan hingga menjual koleksi kitab pribadinya atau membuka donasi untuk kebutuhan sehari-hari. Ini bukan hanya soal nasib individu, tetapi persoalan besar umat: bagaimana sistem Islam seharusnya menopang kehidupan para penjaga ilmu dan penyeru kebaikan?
Sebagian besar masyarakat masih memelihara anggapan bahwa ilmu agama harus diberikan gratis, dan para dai semestinya “ikhlas” dalam berdakwah, tanpa menuntut imbalan. Keikhlasan kemudian dijadikan semacam doktrin pembenaran untuk membiarkan mereka hidup dalam kekurangan. Padahal, dalam sejarah Islam, keikhlasan tidak pernah berarti menafikan pemenuhan kebutuhan dasar. Para sahabat Rasulullah SAW pun tetap berdagang, bertani, bahkan berjihad dengan imbalan ganimah tanpa mengurangi nilai ibadah mereka.
Ada sebuah pandangan keliru yang sangat umum: bahwa menerima bayaran atas dakwah atau mengajar agama akan mengurangi nilai ibadah atau keikhlasan seseorang. Pandangan ini secara faktual bertentangan dengan sejarah Islam. Sahabat Abu Hurairah pernah menjelaskan mengapa dirinya mampu meriwayatkan lebih banyak hadis dibandingkan sahabat lain. Bukan karena ia lebih senior atau lebih dulu masuk Islam, tetapi karena ia tidak tersibukkan dengan pekerjaan pasar atau kebun sebagaimana sahabat lainnya yang harus mencari nafkah. Para muhajirin sibuk dengan perdagangan, sementara para Anshar berkutat di kebun-kebun mereka. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab pun mengakui bahwa dirinya terlalaikan dari sebagian ilmu karena aktivitasnya di pasar. Fakta ini menunjukkan bahwa dari dulu pun, menuntut dan mengajarkan ilmu agama tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi dan logistik.
Di kalangan sahabat, mencari satu hadis pun bisa membutuhkan biaya dan tenaga luar biasa. Seorang sahabat seperti Abu Ayyub Al-Anshari rela menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Madinah ke Mesir hanya untuk mengonfirmasi satu hadis dari Uqbah bin Amir. Begitu pula Jabir bin Abdillah yang menempuh perjalanan ke Syam hanya untuk memastikan validitas sebuah riwayat. Perjalanan semacam ini memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan pengorbanan besar dari sisi fisik, waktu, hingga biaya logistik. Namun, mereka memandang satu hadis lebih berharga dari seluruh biaya dan jerih payah tersebut.
Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: dalam tradisi Islam, ilmu itu mahal. Ia sakral dan harus dihargai. Bahkan generasi tabi’in menanamkan konsep ini dalam praktik pendidikan. Diceritakan, seorang ayah memberikan 100.000 dirham (setara sekitar 70 miliar rupiah dalam konversi saat ini) kepada anaknya yang akan melakukan rihlah ilmiah. Uang itu diberikan dengan target: satu hadis untuk setiap dirham. Ini bukan hanya bentuk pengorbanan finansial, tetapi investasi sosial yang luar biasa dalam membangun kualitas keilmuan generasi penerus.
Namun hari ini, dengan segala kemudahan teknologi dan akses digital, ilmu justru menjadi barang yang dianggap remeh. Cukup dengan kuota 100 ribu rupiah sebulan, seseorang bisa mengikuti ceramah online tanpa batas. Tapi akses mudah ini kadang menumpulkan penghormatan terhadap ilmu dan pengajarnya. Masyarakat tidak lagi melihat pentingnya pengorbanan, bahkan enggan berkontribusi secara finansial untuk mendukung mereka yang mendalami dan menyebarkan ilmu.
Lebih dari itu, realitas dunia dakwah juga berubah drastis. Jumlah dai, ustaz, dan penceramah meningkat, tetapi tidak semuanya terserap dalam “pasar dakwah” yang terbatas. Seperti industri hiburan atau seni pertunjukan, hanya mereka yang memiliki popularitas dan “branding” tinggi yang laris diundang dan diberi amplop besar. Bahkan ada penceramah yang jadwal ceramahnya sudah penuh dua tahun ke depan. Sementara itu, sebagian besar dai lainnya terpaksa mencari pekerjaan tambahan atau berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun mereka memiliki kapasitas ilmu yang sama.
Ini bukan kegagalan individu para dai. Ini adalah kegagalan kolektif umat dalam menciptakan sistem penopang dakwah yang tangguh dan berkelanjutan. Salah satu solusi yang paling tepat dan telah terbukti dalam sejarah Islam adalah penerapan wakaf. Wakaf bukan hanya untuk membangun masjid atau kuburan, tetapi ia adalah instrumen strategis untuk menopang dakwah dan pendidikan.
Dalam sejarah, hampir semua lembaga pendidikan besar Islam seperti Al-Azhar, Nizamiyah, hingga madrasah-madrasah di Andalusia dibiayai penuh oleh wakaf. Bahkan para ulama besar seperti Imam Nawawi, Imam Syafi’i, dan Imam Al-Ghazali mendapatkan akses pendidikan berkualitas tanpa harus membayar karena ditopang dana wakaf yang kuat. Para donatur mewakafkan rumah, kebun, toko, bahkan pasar demi kelangsungan ilmu. Ini bukan sekadar amal, tapi perencanaan peradaban.
Revitalisasi wakaf hari ini bisa diwujudkan dalam bentuk wakaf produktif: aset yang dikelola secara profesional untuk menghasilkan keuntungan yang hasilnya diperuntukkan bagi para dai. Ini bisa berupa unit usaha, lahan pertanian, ruko, bahkan apartemen yang disewakan. Hasil dari pengelolaan ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan para dai: tempat tinggal, beasiswa anak, transportasi dakwah, pelatihan keterampilan, hingga tunjangan keluarga. Model ini memungkinkan para dai hidup layak tanpa harus tergantung pada “amplop ceramah” atau donasi dadakan.
Lebih jauh, institusi-institusi keagamaan dan filantropi Islam perlu duduk bersama untuk merumuskan skema pembiayaan dakwah yang sistematis. Dana zakat, infak, dan sedekah bisa disinergikan dengan wakaf dalam satu ekosistem dakwah berkelanjutan. Bahkan pelatihan manajemen usaha dan keterampilan bagi para dai muda harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan Islam kontemporer. Dakwah bukan hanya bicara spiritualitas, tapi juga kemandirian ekonomi dan keberlangsungan sosial.
Sudah saatnya kita berhenti menuntut para dai untuk ikhlas tanpa memberikan mereka sarana hidup yang layak. Keikhlasan bukan berarti kemiskinan. Keikhlasan justru harus dijaga dengan menjaga kehormatan para dai agar tidak terpaksa meminta-minta atau menjual kitab warisan mereka demi bertahan hidup.
Ilmu itu mahal. Tapi jangan sampai para pembawa ilmu dibiarkan hidup murahan. Sebuah peradaban besar hanya bisa tegak jika ilmu dijunjung tinggi, dan pemilik ilmu dimuliakan. Maka kembalikan wakaf ke panggung utama umat Islam. Jadikan ia pilar pembiayaan dakwah dan pendidikan, bukan sekadar monumen amal. Karena sejatinya, kita tidak hanya butuh dai yang cerdas, tetapi juga sistem yang adil dan tangguh untuk menopang mereka.
Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis sebagai refleksi akademik dan sosial dari sudut pandang mahasiswa pascasarjana bidang ekonomi syariah.