وَٱلَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِٱلْكِتَٰبِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُصْلِحِين
Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan. (QS. Al-A’raf, 170)
Juru dakwah adalah pembaharu, artinya memperbaharui kondisi ummat, memperbaiki kondisi dimana ia berada. Pembaharuan tersebut didasarkan pada perintah wahyu, sebagai konsekwensi pertobatan atas berbagai dimensi sosial yang merusak dan juga memenuhkan perintah dari Allah. Tugas pembaharu tidak mudah, tetapi akan selalu ditolong Allah saat menjalankannya.
Dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, memberikan catatan kepada ayat diatas,
1 ). Diantara perkara penting yang mesti dimiliki oleh setiap muslim pembaharu adalah : memperbaiki dirinya lebih awal kemudian diri orang lain, dengan al-qur’an dan shalat… Allah berfirman : { وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ } . pada lafazh { يُمَسِّكُونَ } jika dibaca takhfif maka maknanya : mereka berpegang teguh dengan diri mereka sendiri, dan jika dibaca tasydid, berarti : mereka berpegang teguh dengan diri mereka dan kepada selain mereka juga. 2 ). Perpegang teguh kepada kitab Allah dengan kesungguhan hati, serta mendirikan shalat dengan segala ketentuanya, adalah dua manhaj rabbani yang menjadi dasar untuk memperbaiki diri, perhatikan firman Allah : { وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ } “Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan” dan pengkhususan shalat dalam ayat ini tanpa ibadah lainnya adalah karena keutamaan yang menjadi tolak ukur keimanan setiap orang, dan mendirikannya akan menghadirkan ibadah-ibadah lainnya.
Ditengah badai san gelombang pragmatisme-relativisme-ateisme, kembali kepada pokok bimbingan kitab suci menjadi keharusan bagi setiap Muslim. Hal tersebut untuk memenuhkan persyaratan dalam perbaikan kualitas hidup dan persiapan kehidupan alam mahsyar. Cinta dunia, budaya “wani piro” tidak lagi sekedar guyonan, tapi itulah realita masyarakat saat ini. Kondisinya perlu di servis, diperbaharui agar kembali menjadi ssmakin orisinal dalama ketaatan.
Dalam hal keyakinan, keimanan, diserbu oleh pendekatan yang cenderung adanya ketidak nampakan garis demarkasi yang jelas antara yang hak dan yang bathil. Keduanya tercampur, atau malah sengaja dicampur demi hasrat lahirnya generasi baru yang tak peduli lagi pada nilai-nilai langit. Selain itu, mencampur adukkan yang benar dan yang salah sebagai protes dan perlawanan terhasap kesadaran warga terhadap nilai dan agama.
Kehadiran sang pembaharu diperlukan saat kondisi sudah semakin terpuruk. Gerakan penyelamatan harus direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, dengan mengajak seluruh komponen ummat, lembaga dakwah, perguruan tinggi dan orang-orang sholeh bergandeng tangan menempati posisi menjadi penjaga umat, penjaga negara.
Kepedulian terhadap usaha menerangi umat harus terus diusahakan, bahwa hak dan batil harus jelas. Nampak kebenarannya dan nampak pula kesalahanya. Jangan malah membuat jargon, yang benar kelihatan salah, dan yang salah nampak sebagai kebenaran.
Juru dakwah, berada dalam zona yang tidak menguntungkan bagi aspek sosial dan politik, bahkan pada situasi ekonomi. Tapi, tuntutan pembaharuan itu lebih besar dan menarik perhatian baginya. Karena memang, yang hak itu telah jelas, sebgaimana yang bathil itu juga sudah jelas.
Biarkanlah gerakan pembaharuan ini kecil, agar umat tidak terlalu berat menerimanya. Allah janjikan yang kecil itu dengan pahala, balasan atas usaha yang dilakukan. Setiap usaha pembaharuan ada balasannya.