رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجْعَلْ أَفْـِٔدَةً مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهْوِىٓ إِلَيْهِمْ وَٱرْزُقْهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim, 37)
Walaupun belum bisa menjawab dan merespon dengan baik, sebagai sesama juru dakwah, dengan segala kekurangan yang kami miliki, terasa ada pelajaran berharga saat meneriman kiriman WA dari aktifis dakwah. WA itu tertulis, “Syukron Ustadz baru tadi mau tanya, Niat, visi, motivasi seperti apa yg bisa mempertahankan aktivitas Da’wah ketika sudah berkeluarga…“. Pertanyaan yang diajukan, sejatinya juga ditujukan sebagai pelajaran bagi kami sesama juru dakwah.
Konon dalam kisah hadist shoheh, Nabi Ibrahim mengalami kondisi yang berat saat harus kembali ke Palestina, menunaikan tugas mulia misi kerasulan. Beratnya meninggalkan keluarga, karena kebutuhan untuk hidup belumlah ada si kawasan lembah Tsaniyah tempat mereka akan menetap sebagaimana pesan Allah. Pastilah, sebagai seorang suami dan ayah dari anak kecil Ismail yang masih kecil, beban itu membuatnya sulit untuk meninggalkannya. Tapi pesan Allah tak mungkin ditolaknya. Ia telah berkomitmen mengambil resiko ini, dakwah adalah pilihan utamanya. Saat mau berpamitan, dilihatlah sikap berat itu oleh sang istri Hajar namanya sempat mengajukan pertanyaan,
“Hai Ibrahim. Hendak ke mana kau pergi dan meninggalkan kami di lembah tanpa teman atau perbekalan untuk mencukupi kebutuhan kami di sini?” Hajar, perempuan itu, terus membuntuti Ibrahim. Ia lontarkan pertanyaan berulang kali, tapi Ibrahim bergeming. Hatinya resah. Ia seorang perempuan, membawa anak bayi, dan hendak ditinggalkan begitu saja di tengah padang pasir. Tak mendapat jawaban, Hajar pun bertanya, “Allah-kah yang menyuruhmu untuk melakukan hal ini?”
“Ya,” jawab Ibrahim singkat. “Kalau begitu, Ia tidak akan menelantarkan kami.” (Bukhari)
Saat tiba di bukit Tsaniyah, tempat Hajar dan Ismail sudah tidak kelihatan lagi, Ibrahim menengadahkan tangan dan melantunkan doa diatas. Harapan akan keyakinan bahwa Allah adalah dzat yang akan memberikan kecukupan untuk dirinya dan juga keluarganya. Ia meminta kepada Allah dengan kesungguhan, karena dirinya dan keluarganya adalah memiliki harapan yang sama, ingin mengabdi kepadaNya dengan cara saling mendukung.
Sang istri menguatkan, memotivasi tugas Allah kepada suaminya. Menjalankan misi dakwah. Sang istri yakin, jika tugas sang suami adalah untuk melaksanakan tugas dari Allah, pastilah Allah juga akan memberikan jaminan kecukupan untuk dirinya, suami dan keluarganya. Doa tadi barangkali gambaran nyata dari apa yang akan kemudian Allah wujudkan dihadapan keluarga Ibrahim.
Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, memberikan beberapa catatan berharga terhadap ayat diatas. Kita bisa ambil sebagai motivasi bagaimana mengelola dakwah dalam rumah tangga.
1 ). Ambilah hati orang-orang ketika kamu mengajak mereka kepada kebaikan, karena jika hati telah cenderung maka jasadnyapun akan ikut; oleh karena itu bukannya dari orang beriman jika hatinya tidak ada rasa cinta kepada Ka’bah.
2 ). Jka kamu melihat gerombolan orang-orang dari penjuru dunia yang terus berdatangan ke baitullah al-harom, bagimana mereka mengorbankan harta yang banyak, berapa tahun mereka menunggu sampai gilirannya tiba agar ia bisa sampai ke tempat itu? semua kerinduan mereka diikuti oleh hati yang telah jatuh cinta kepada pemilik rumah itu, hati-hati mereka telah terpaku oleh firman Allah : { فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ }.
3 ). Perhatkan ayat ini : { فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ } “maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka” Ibrahim tidak mengatakan : jadikanlah sebgian manusia datang kepada mereka; karena sesungguhnya dengan sekedar datang tujuan tidak dapat terwujudkan dengan baik, bahkan hal yang sebaliknya akan terjadi, namun jika hati yang telah cenderung, maka jasad akan mengikut kepadanya, dan tercapailah rasa cinta yang sebelumnya mreka impikan.
4 ). Diantara keagungan petunjuk dari doa Ibrahim untuk penduduk al-harom adalah : { وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ } “dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” bahwasanya jika saja orang-orang mengetahui mereka akan menemukan kesulitan dalam mencari rezeki di tanah harom; tidaklah mereka akan rindu kepada tempat ini, sekalipun mereka datang namun ketertarikannya untuk menetap akan berkurang dikarenakan kurangnya sumber pangan di daerah itu.
Saat bujangan melaksanakan dakwah kelihatanya lebih ringan, dari aspek kemerdekaan. Jadwal, zona, tema dakwah bisa dipilih menurut selera. Tapi tidak pada waktu seorang dai telah hidup membangun rumah tangga, ada istri, anak-anak dan mungkin juga orang tua. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda dan juga memerlukan penyikapan yang berbeda pula. Apalagi jika pasangan san keluarganya bukanlah termasuk “aktivis dakwah” sebagaiman dirinya.
Maka perlu waktu untuk membersamainya, perlu memberikan sentuhan hati dan perasaan. Mengajak sedikit demi sedikit bagaimana memahami fenomena keluarga dan kenyataan hidup sebagai keluarga juru dakwah. Masing-masing harus saling membangun kepercayaan, karena tugas dakwah seringkali memisahkan diantara mereka. Saling mendoakan dan memotivasi atas tugas masing masing.
Yang keluar rumah mendoakan, dan yang dirumah memotivasi. Jangan samapai terjadi, setelah menikah justru beban keluarga yang justru terus dieksploitasi sebagai alasan ikut berdakwah. Sang juru dakwa merasa berat dan hilang semangatnya, ditambah yang dirumah tak mau memberikan motivasi. Memang secara fitrah, sang suami merasakan beratnya terlibat aktif dalam dakwah, saat melihat tanggung jawab keluarga belum terpenuhkan. Dalam kondisi seperti ini, sang dai perlu menyesuaian diri, tapi tetap mengambil beban dakawah yang memungkinkan. Dilaksanakan dengan sungguh sungguh, apalagi beban dakwah itu menyentuh kepeentingan amal jama’i. Tunjukkan, walaupun kecil komitmen dakwah dalam kerja bareng. Jangan cuek dan justru mengambil jarak, hanya mengambil dakwah yang sifatnya pribadi. Tentu sambil memahamkan kepada anggota komunitas dakwah, juga keluarga dirumah.
Jika mengambil ibrah ayat diatas, kesiapan keluarga dalam soal dakwah amat berhubungan dengan seberapa komitmen keluarga itu dalam ibadah. Sholat dijadikan indikator kontrolnya, karena didalamnya mengajarkan tentang huhungan pribadi antara aeorang hamba kepada Rabnya. Juga mengajarkan tentang disiplin dan tau diri, bahwa kita adalah seorang hamba yang harus tunduk kepda Allah. Ketundukan itu akan memberikan ketenangan batin, dimana situasi dialog akan lebih cair.
Saat bunda Hajar memahami apa arti perintah kepada sang suami, ia tahu bahwa konsekwensi perintah adalah pemenuhan hak. Sebab akibat terjadi, siapa yang menolong akan ditolong. Pengorbanan keluarga dalam dakwah, memberikan aksi terhadap pemenuhan kebutuhan hidup yang berdimensi materia dan non-materi. Riski yang tak pernah putus hingga kini, air Zamzam yang sudah ribuan abad yang tak pernah habis diminum hingga kini. Juga kerinduan, nikmat kejiwaan yang dihadiahkan menjadi kado setiap insan. Rindu adalah fitrah manusia yang tak bisa dibeli. Sebagaimana rindunya orang ber-Iman untuk mengunjungi kota yang dibangun oleh trio keluarga dakwah ini, Ibrahim-Hajar-Ismail.
Keluarga dakwah yang saling mendukung. Saat yang satu merasa berat, yang lain meringankan dengan membangun motivasi. Katakan, “Jika hal itu adalah perintah Allah, maka ia akan dibantu oleh-Nya”. Mereka memiliki kesamaan visi penghambaan, juga kemanusiaan. Saling mendukung kebaikan kunci pembukanya, kesulitan akan hilang dari hadapan. Jangan berhenti belajar!