فانطلقت أنا وأبو بكر حتى دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: نافق حنظلة يا رسول الله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “وما ذاك؟.” قلت: يا رسول الله نكون عندك تذكرنا بالنار والجنة، حتى كأنا رأي عين، فإذا خرجنا من عندك عافسنا الأزواج والأولاد والضيعات نسينا كثيراً، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” والذي نفسي بيده؛ إن لو تدومون على ما تكونون عندي وفي الذكر لصافحتكم الملائكة على فرشكم، وفي طرقكم، ولكن يا حنظلة ساعة وساعة ثلاث مرات
“Maka aku dan Abu Bakr pergi mendatangi Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan masuk menemui beliau. Aku berkata kepada beliau, “Handzholah telah menjadi munafik wahai Rosulullah!”, maka Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Wahai Rosulullah, ketika kami berada di sisimu dan engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga maka seakan-akan semua itu terlihat di pelupuk mata kami, namun setelah kami keluar meninggalkanmu, maka kami tersibukkan dengan isteri-isteri dan anak-anak serta pekerjaan sehingga membuat kami lupa banyak hal”. Maka Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, andaikata kalian senantiasa berada dalam keadaan seperti saat bersamaku dan senantiasa berdzikir niscaya para malaikat akan memberi salam kepada kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzholah, “Ada saatnya begini dan ada saatnya begitu”, beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Muslim 2750)
“Bismillah Ustadz, mohon izin bertanya, apakah ada perbedaan pada seorang da’i ketika sebelum berkeluarga dan sesudah berkeluarga dalam aktivitas Da’wah dari segi semangat, pengorbanan dll. ??”, kiriman soal dari dai lapangan. Ku-jawab dengan sederhana, “Semoga tetap dan bertambah semangat dakwahnya saat bujang dan berkeluarga. Biasanya yg mempengaruhi adalah soat niat, visi dan motivasinya apa saat melibatkan diri dalam aktivitas dakwah”. Sang dai masih mengirimkan rsponya, ” Amiin ya Rabbal’alamin…Na’am Ustadz Jazakallahu Khoir atas jawabannya…”.
Pertanyaan yang sebenarnya adalah bentuk lain daru sebuah komitmen, agar keterlibatan dakwah tak terganggu dengan aktivitas, atau tuntutan hidup. Wajar, pertanyaan itu diajukan, karena yang namanya semangat itu selalu ingin terus berkobar dan tak boleh padam, walaupun adakalanya mengecil sinarnya. Apalagi, saat visi dakwah sudah menjadi komitmen saat masa studi dan juga saat terlibat secara langsung dilapangan. Kesan lapangan membuat benih dakwah terlalu sayang dikecilkan, apalagi dipadamkan.
Ternyata, visi dakwah itu jika telah benar-benar terhunjam dalam jiwa sanubari sang dai akan melekat terus hingga masa yang panjang. Situasi sekeliling memang akan memberikan pengaruh, tapi tetap tak mampu menghilangan. Sang dai, mungkin hanya akan menggeser dan menyesuaiakan diri agar terjaga stabilitas diri. Penting memang memahami secara luas, arti perubahan dalam dakwah.
Pengalaman dan fenomena baru yang datang dalam siklus perubahan seorang dai, sejatinya masih dalam kewajaran, asal inti dakwah masih ada. Inti dakwah adalah menyampaikan kalimat tuahid, meyampaikan kebanyak orang untuk meningkatkan perilaku baik. Visi dakwah ada pada gerakan perubahannya, dengan nilai dari Allah yang berbentuk qaulan ataupun pemahaman yang mendalam dari orang orang sholeh yang mudah untuk diaplikasikan.
Seorang dai memang bukan pendeta, rahib dan biksu yang justru meninggalkan fitrah manusia. Menikah, makan, tidur, menyukai estetika adalah sunnatullah yang tak mungkin ditolak. Penolakan terhadap sunnatullah tersebut, justru akan menghilangkan stabilitas seseorang. Akibatnya, malah akan menimbulkan kekacauan sistem jiwa. Mengapa? Karena sistem kerja yang terdiri dari berbagai komponen hidup tidak terjadi. Resiko terbesarnya, rusaknya sistem kekebalan tubuh.
Islam mengajarkan keseimbangan, tidak meninggalkan hal-hal fitrah, tapi juga tidak membiarkanya tanpa aturan. Agama ini mengajarkan SOP kehidupan. Menikah jangan dipahami sebagai beban, tapi penyempurnaan kwalitas hidup. Jika menikah adalah pilihan seorang dai, sejatinya ia sedang menyiapkan media pembelajaran baru bagi masyarakat binaan. Warga jadi lebih mudah melihat praktek langsung, misalnya bagaimana hidup berumah tangga bagi seorang Muslim.
Begitulah pesan Rasul diatas, memang idealisme puncak akan datang disaat yang tepat, saat masa belajar dekat dengan guru. Setelah keluar area tersebut, sang dai harus menyesuaikan dirinya dengan lapangan. Dalam artian, menimbang saat akan bersentuhan dengan perintah agama yang macam-macam. Menyampaikan pesan adalah perintah, sebagaimana menikah juga perintah. Tak mungkin meninggalkan salah satunya. Dua-duanya harus bisa berjalan, tinggal perlu disesuaikan dengan kondisi. Tapi bukan meninggalkan salah satunya, dan ini tidak mungkin.
Niat dan memupuk visi dakwah memiliki urgensi dalam menjaga keberlangsungan dakwah dalam makna yang luas. Dakwah dalam artian mengubah kondisi masyarakat. Kadang-kadang perlu penyesuaian, karena sifat dasar jiwa juga berubah. Berubah dalam konteks pergerakanya, buka pada visi dakwahnya. Memang, pada saatnya seluruh syariat akan diterima dan dilakukan setiap mukallaf. Masing-masing diberikan kesempatan dan tanggung-jawab yang berbeda-beda.
Hadist dan kiriman WA dari dai diatas, begitu faktual dalam kehidupan manusia dan tentu kehidupan para juru dakwah. Banyak yang berhasil menjalaninya saat berbagai syariat itu harus ditunaikan. Ada beberapa yang gagal. Masalahnya ada soal visi dan juga lemahnya mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Berkumpullah dengan orang sholeh agar komitmen terjaga dengan baik. Jangan melupakan syariat, agar dakwah tak berubah menjadi beban. Ia laksana pasangan penyeimbang dalam menjalani roda kehidupan. Kadang sadar, dan kemudian rajin melaksanakan. Kadang pula futhur (rontok) ditengah gelombang yang tak bisa dikompromikan. Naik turun memang fitrah kehidupan, asal visi masih bisa tumbuh dengan baik.
Bandung-Tlg, 23/3/21