KUTIPAN DARI BUKU PEMIMPIN PULANG Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir
(Jakarta, Yayasan Piranti Ilmu, 1993)
Oleh Wildan Hasan
1. Pengantar Penyunting, hal.xiii
“Terkadang saya dihujani pertanyaan-pertanyaan dari berbagai pihak, terutama dari generasi muda. Siapakah yang telah dipersiapkan untuk alih generasi pemimpin, sesudah kami tidak ada lagi? Kalau saya, saya termasuk orang yang optimis dalam hal ini. Kalau rajin melihat-lihat dan menyimak. Terutama dalam setahun akhir-akhir ini, kita melihat calon-calon “Yahya” di kalangan angkatan muda kita.” (M. Natsir)
2. Kompas, Ahad 7 Februari 1993. Pemimpin Pulang, Hal.15
“Waktu itu (perundingan Roem-Roijen 1949) Belanda mendesak agar TNI mau ditempatkan di bawah komando pemerintah Belanda. Namun pak Natsir menjawab, ‘Kami, republik, menghendaki penyelesaian yang dirundingkan, bukan merundingkan penyerahan.” (Dahlan Ranuwiharjo, mantan anggota DPR GR)
3. Media Dakwah, Maret 1993. Pemimpin Pulang, Hal.29
Entah bagaimana asal muasalnya muncul citra seolah pak Natsir anti pemerintah (orde baru). Padahal sejak masih dalam tahanan rezim orde lama, pak Natsir telah turut membantu pemerintah Jenderal Soeharto. “Kami tidak tahu lagi bagaimana harus memperbaiki image itu, kalau memang itu perlu. Banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan. Bukan karena tidak bisa dibuktikan, tapi karena nanti kami dikira menggembar-gemborkan jasa kami.” (M. Natsir)
4. Sinar Pagi, Senin 8 Februari 1993. Pemimpin Pulang, Hal.53
“Orang sering menilai Natsir dan tokoh Islam lain dalam lingkup yang terlalu sempit. Hanya didasarkan pada pengamatan sikap politik menjelang dan selama konstituante, tanpa melihat realitas politik saat itu. Pada masa itu, setiap orang dapat memperjuangkan ideologinya. Mereka bebas dan negara juga menjamin. Maka tidak ada hak siapapun untuk menyalahkan dan mendiskreditkan M. Natsir yang memperjuangkan keyakinannya (Islam) dengan misi yang diembannya. Tetapi ini bukan berarti Natsir hanya memperjuangkan umat Islam. Kita harus melihat perjuangan itu sebagai perwujudan demokratisasi di forum konstituante. Jadi salah besar kalau Natsir dianggap tokoh sektarian.” (Adnan Buyung Nasution)
5. Harian Terbit, Senin 8 Februari 1993. Pemimpin Pulang, Hal.70
M. Natsir adalah tokoh Islam Internasional. Pejabat tinggi, tokoh dan ulama internasional selalu menanyakan kabar beliau setiap kali kedatangan tamu dari Indonesia. Ketika Buya Hamka dan KH. Hasan Basri ke Mesir pada 1967, dua ulama ini melakukan berbagai pertemuan dengan para ulama di Kairo. Tapi, setiap kali pertemuan, ternyata yang ditanyakan hanyalah Mohammad Natsir. Menghadapi kenyataan itu, dengan bercanda buya Hamka berkata, “Jadi, pak Hasan Basri, kita berdua ini tidak dianggap orang di sini.”
6. Editor, 20 Februari 1993. Pemimpin Pulang, Hal.82
“M. Natsir memang tokoh besar, bukan saja bagi umat Islam tapi juga bagi bangsa kita. Integritas dan kejujurannya, moralnya tak diragukan lagi. Pandangannya tak pernah berubah. Semua pemikirannya mencerminkan kepentingan bangsa dan agama. Pak Natsir adalah tokoh panutan yang pantas. Sekarang ini, tokoh seperti beliau sudah sangat langka. Ada memang yang pantas tapi bukan panutan. Atau sebaliknya, ada yang panutan tapi tak pantas. ” (Abdurrahman Wahid Gus Dur)
7. Republika, 7 Februari 1993. Pemimpin Pulang, Hal.94
“Sepulang pak Natsir dari RS, saya menjenguk beliau. Saat bertemu, tangannya saya cium, ia tidak menolak. Padahal, semua orang tahu, beliau ini tidak suka cara cium tangan seperti itu. Kenapa sikapnya begitu? Ini karena beliau menghargai cara dan sikap serta pola orang lain.” (KH. Yusuf Hasyim, PP Tebu Ireng Jombang)
8. Media Dakwah, Maret 1993. Pemimpin Pulang, Hal.123
“Dari pembicaraan dengan utusan khusus Tuan Fukuda itu, Tuan Nakajima, penulis baru tahu, betapa erat hubungan hubungan kedua mantan Perdana Menteri itu dan betapa luas masalah-masalah yang dibicarakan oleh mereka. Sejak tahun 1955 sampai awal tahun 1993 ini menurut keterangan Tuan Nakajima, Tuan Fukuda telah mengutusnya sebanyak 200 kali untuk menemui pak Natsir.” (Anwar Haryono)
9. Pelita, Rabu 10 Februari 1993. Pemimpin Pulang, Hal.147
“Pak Natsir selalu dikunjungi pemimpin-pemimpin Islam dunia, seperti Al Fudhail Al Wartawani, Al Haj Amien Al Husaini, Dr. Saeed Ramadhan dan banyak lainnya. Pernah diawal tahun 1968, Dr. Saeed Ramadhan diminta memberikan kuliah umum di Universitas King Abdul Aziz. Dr. Saeed menyatakan kesediaannya memenuhi permintaan panitia hanya bila pak Natsir yang ditunjuk sebagai komentator. Begitulah bobot pak Natsir di mata para tokoh dunia Islam.” (Geys A. Tamimi)
10. Kompas, Rabu 10 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.169
“Walaupun Mohammad Natsir Ketua Partai Islam Masyumi, namun selaku Perdana Menteri dia tidak segan-segan mengambil tindakan kepada Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwiryo yang melakukan ‘gangguan’ keamanan di wilayah Jawa Barat. Adalah karakteristik sekali bagi Natsir bahwa sejak proklamasi kemerdekaan hingga sidang konstituante di Bandung tahun 1955, dia tidak pernah membicarakan soal negara Islam. Dia mengutamakan kesatuan bangsa dan kemerdekaan. Barulah tatkala pada sidang konstituante diajukan pilihan antara negara Pancasila dan negara Islam, Natsir sebagai Ketua Masyumi tidak dapat berbuat lain melainkan memilih Islam.” (H. Rosihan Anwar)
11. Media Dakwah, Maret 1993. Pemimpin Pulang, Hal.193
“Dunia ini bagaikan perantuan. Suatu saat kita akan kembali ke kampung halaman. Oleh karena itu jadilah kalian sebagai perantau yang berhasil.” (M. Natsir)
12. Editor, 20 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.199
“Baik Natsir maupun Masykur beranjak dari perjuangan yang sama, Masyumi. Bedanya Masykur dari NU, dan Natsir dari Persis. Inilah yang membedakan “aliran” dua tokoh ini. Kedua tokoh ini saling menghormati perbedaan itu. Meski kemudian NU keluar dari Masyumi saat Natsir sebagai Ketua Umumnya, hubungan Masykur dan Natsir tak memburuk. Kedua tokoh ini acapkali bertemu dan berdiskusi. Bahkan pada tahun 1950 an, ketika Masykur ke Makah sebagai delegasi RI, ia bertemu dengan utusan khusus Mesir Kolonel Anwar Sadat. Sadat mengundang pemerintah Indonesia dalam pertemuan Islam Internasional di Pakistan. Sadat meminta nama utusan Indonesia yang akan bicara dalam konferensi tersebut. Masykur dengan spontan menyebut nama Natsir. Maka pemerintah Indonesia mengutus Natsir dalam pertemuan Islam sedunia itu. Natsir, dengan bagus, memperkenalkan Pancasila di hadapan negara-negara Islam. ” (Musthafa Helmy)
13. Media Indonesia, 12 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.207
“Pada tahun 80-an saya berkunjung ke Pondok Pesantren Nahdhatul Wathan, di Poncor NTB, asuhan Tuan Guru Zainuddin. Saya perkirakan Tuan Guru sudah berusia 90 tahun. Tetapi dengan jernih ia bertutur tentang kunjungan Natsir tahun 1950-an ke NTB. Natsir berpidato dimana-mana agar orang NTB jika ingin memperdalam agama tidak perlu ke Jawa, karena Pondok Pesantren Nahdhatul Wathan tidak kalah kualitasnya dengan Pondok Pesantren di Jawa. ‘Pak Natsir sungguh besar jasanya bagi Nahdhatul Wathan.’ Kenang Tuan Guru.” (Ridwan Saidi)
14. Berita Minggu, Ahad 14 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.213
“Natsir senantiasa hadir di tengah kecamuk pemikiran yang sedang mencari dasar dan landasan pembinaan negara dan kebudayaan Indonesia. Bagi Natsir dasarnya tidak lain harus Islam. Dalam kaitan ini kita sependapat dengan Ajip Rosidi yang pernah menyatakan kekesalannya bahwa pemikiran Natsir yang mewakili suara kelompok Islam itu tidak dimasukkan oleh Achdiat K Miharja dalam dokumentasi tentang polemik kebudayaan yang terjadi pada tahun 30-an.” (Dr. Siddiq Fadzil)
15. Berita Buana, 9 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.217
“Kemudian saya katakan bahwa sebetulnya beliau tidak cocok untuk menjadi politikus praktis, lebih tepat jadi pendidik, filsuf atau pemikir. ‘Memang saya jadi politikus tidak sengaja, secara tersambil,’ ujarnya disertai senyum khas yang simpatik. Sebab praktik politiknya Natsir dilandasi moralitas yang tinggi, yaitu moral keagamaan, moral Islam.” (Solihin Salam)
16. Editor, 20 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.224
Pernah dalam suatu acara kunjungan di Jakarta, Raja Faishal Arab Saudi memerlukan berdiri untuk mencari Natsir hadir atau tidak. Dimana Natsir hadir, ia persilahkan duduk di sampingnya.” (Tatik S. Hafidz)
17. Republika, 15 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.237
“Sementara itu, di kalangan tertentu pengagum pak Natsir di Indonesia kurang mencerna komitmen demokratis dan intelektual pak Natsir. Sehingga yang banyak tertangkap adalah sosok Natsir yang berani melawan arus, ke medan juang meski sendiri, pantang surut meski beresiko apapun. Sosok Natsir yang siap bekerja sama dengan tokoh agama lain kurang dicerna lagi. Mereka hanya menangkap ‘genderang perang’ dari pak Natsir, dan mengabaikan ‘salam persahabatan’ hangat darinya.” (Zulkifli Halim)
18. Editor, 20 Februari 1993. Pemimpin Pulang, hal.243
“Dalam sebuah negara yang merdeka, kita harus menghidupkan kembali tradisi keterbukaan menyampaikan pendapat.” (M. Natsir)
“Petisi 50 kan namanya petisi artinya permintaan, agar bisa diperhatikan. Namun, nyatanya dianggap subversi… Perbedaan sedikit saja ditegur. Kita ini sampai sekarang kok terus-terusan dalam keadaan bahaya, padahal sudah membangun katanya. Kebudayaan yang muncul ya kebudayaan takut akhirnya.” (Hal.245)
“Kita perlu membangunkan kesadaran politik di kalangan warga masyarakat, agar tidak takut berpolitik… Apa benar kita akan berdiri saja di pinggir jalan sambil melihat orang-orang lain berlalu….. Apakah umat Islam hanya akan menjadi obyek saja?” (M. Natsir)