Oleh : KH. Ansori,S.P.
Pekan ini, jagat publik di Indonesia diwarnai oleh kontroversi pernyataan Gus Miftah, seorang penceramah kelahiran Lampung, yang sempat menyinggung hati masyarakat melalui candaan terhadap seorang penjual es teh. Ucapan yang terkesan merendahkan ini memicu perdebatan tentang batasan dalam bercanda, khususnya di tengah forum dakwah.
Dalam tradisi ceramah, terutama di kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU), humor sering digunakan untuk mendekatkan diri kepada jamaah.
Namun, Islam memiliki batasan yang jelas. Rasulullah SAW bersabda, “Aku pun bercanda, tetapi aku tetap mengatakan yang benar.” Rasulullah juga melarang umatnya menghina atau merendahkan siapa pun, sebagaimana tertuang dalam nasihat beliau kepada Abu Jurayy, yang kemudian berjanji tidak akan pernah menghina manusia, hewan, maupun makhluk lainnya.
Hal ini tegas dalam suatu hadits yg panjang nasehat Rasulullah SAW kepada Abu Jurayy. Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah :
………”Nasehati aku wahai Rosul Alloh”. Rasulullah bersabda “jangan kamu menghina seorangpun”. Abu Jurayy berkata “akupun tidak pernah menghina seorangpun setelah itu, baik kepada orang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba”……
Di tengah fenomena ini, kita dapat mengambil inspirasi dari teladan dakwah yang diwariskan oleh tokoh besar Islam Indonesia, Allahyarham Dr. (HC) M. Natsir. Sebagai ulama, pejuang, dan pahlawan nasional, beliau dikenal dengan pendekatan dakwah yang lembut, penuh kasih, dan menghargai hati umat. Pesannya yang terkenal, “Berbenteng di Hati Umat” , mengajarkan bahwa seorang dai harus selalu menjaga hubungan dengan umatnya tanpa melukai hati mereka, apalagi menghina atau menghakimi.
Melalui prinsip ini, M. Natsir mendorong para dai untuk menjadikan hati umat sebagai benteng yang kokoh. Dakwah yang benar adalah dakwah yang tidak hanya menyampaikan kebenaran tetapi juga melakukannya dengan penuh hikmah dan kasih sayang, sehingga umat merasa dihormati, diterima, dan terinspirasi untuk berubah.
Sebagai pengingat bagi semua yang berdakwah, kita harus senantiasa bercermin pada Rasulullah dan ulama-ulama yang telah mendahului kita. Dengan demikian, dakwah tidak hanya menjadi sarana penyampaian pesan agama, tetapi juga membangun ukhuwah dan memperkuat iman di hati umat.