Oleh
Ustadz Gufron Azis Fuadi
Dalam sebuah acara reuni penggiat dakwah kampus, rupanya ada beberapa orang yang mencoba memgabsen, berapa sih para penggiatnya yang akhirnya bersatu dalam mahligai pernikahan. Ternyata cukup banyak juga. Padahal umumnya mereka tidak saling berpacaran sebelumnya. Sesuatu hal yang mereka hindari. Kalau pun ada ‘hanyalah’ sebatas niteni (memperhatikan/mengamati),
nyireni (menandai) dan nge(n)cupi maknanya adalah menghaki, ingin memiliki… (Lihat KBJI, Kamus Bahasa Jawa Indonesia).
Encup adalah usaha memegang sesuatu dengan jari manis dan ibu jari. Seperti dalam kalimat, ngencup kinjeng yang maknanya akan memegang buntut capung.
Dalam lagu dolanan bocah “Kupu Kuwi” juga asa ungkapan, Kupu kuwi tak encupe, yang memiliki makna, Kupu itu ingin aku dapatkan.
Menginginkan membangun mahligai rumah tangga dengan pasangan yang se-komunitas atau sefikrah adalah baik, wajar dan normal. Akan menjadi tanda tanya bila ternyata aktivis dakwah tambatan hatinya seorang aktivis dugem. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang dihimpun dalam kesatuan. Jika saling mengenal di antara mereka maka akan bersatu. Dan yang satu sama lain merasa asing di antara mereka maka akan berpisah.” (HR.Muslim 6376)
Sedangkan Allah berfirman:
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang.”
(An Nur: 26)
Seorang dai pastilah menyadari, bahwa keluarga adalah labinatun min labinaatul jama’ah, salah satu batu bata dari struktur jamaah.
Mengutip taujih ustadz. Hilmi, beliau mengatakan:
“Saya menyadari, sesadar-sadarnya bahwa keluarga duat dan daiyah tidak seperti keluarga kebanyakan manusia. Dari mulai munthalaqnya, pangkal bertolaknya mereka berumah tangga, dimana rumah tangga itu dibangun dengan mahabbah fillah. Apa lagi sama-sama dibangun melalui wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul minhaj. Bahkan selalu seiring bergandengan tangan dalam perjalanan dakwah dengan segala pengorbanannya, maka ikatan mahabbah fillah yang didasari wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul manhaj itu diikat pula oleh ikatan romantisme dakwah. Ikatan romantika dakwah yang mengikat rumah tangga kita. Allahu akbar walillahil hamd.
Lebih lanjut beliau menuturkan,
“Saya sering mengatakan bahwa rumah tangga dai adalah rumah tangga qa’idah da’wiyah, homebase bagi dakwah itu. Dan komandan markasnya adalah istri kita. Sudah barang tentu para junudullah membutuhkan ri’ayah dari komandan agar kegairahan berdakwahnya tetap bergelora, agar semangat dakwahnya tetap menggebu, agar daya juangnya tetap berkobar. Oleh karena itu mu’asyarah bil ma’ruf, mu’asyarah zaujiyah bil ma’ruf adalah merupakan sendi-sendi yang harus diperhatikan dalam memelihara istiqrar ‘aili, kestabilan keluarga dai…”
“…jika ‘ailat du’at dan da’iyah ghairu mustaqirrah, tidak tenang, tidak stabil, sudah barang tentu cukup merepotkan jamaah, mengganggu perjalanan dakwah…”
Disinilah pentingnya memiliki pasangan yang sefikrah dan seperjuangan. Paling tidak visi misinya tidak pincang tapi bisa seia sekata. Bukan hanya bersama didunia tetapi sesurga bersama.
Saat memberikan khutbah nikah pada pernikahan saya pada 6 Januari 1991, ustadz Ihsan Tanjung mengingatkan bahwa menikah atau berkeluarga itu bukan sekedar membentuk persekutuan ekonomi terkecil seperti yang sering kita dengar, tetapi menikah adalah untuk membangun keluarga dakwah yang akan melahirkan generasi pejuang peradaban. Jadi jangan sampai anak anak kita nanti tidak mewarisi estafet perjuangan dajwah kita. Maka melilih pasangan yang sefikrah adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang dai dalam mewujudkan keluarga dakwah.
Qatadah rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadi teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)
Pada akhirnya jodoh itu adalah takdir Allah yang harus disyukuri. Karena pasti disana banyak hikmahnya yang sebagiannya baru kita ketahui dan rasakan setelah kita menjalaninya dengan perasaan ridha.
Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Wallahua’lam bi shawab