“Ustadz, mohon maaf ada bingkisan paket sembako untuk ustadz dan keluarga. Mohon bisa mengambil besok hingga pukul 12.00 WIB” kira-kira demikianlah isi pesan dari seorang staf lembaga kemanusiaan yang dikirim kepada saya.
Dari pesan singkat inilah tulisan saya bermula. Awalnya saya ragu untuk menulisnya. Khawatir ada mispersepsi atau zhan yang berkeliaran mengotori batin saudara-saudara saya. Tapi, biarlah, hanya Allah saja yang mengetahui maksud dan suasana hati saya yang sesungguhnya.
Tiba-tiba saja bi benak saya hari-hari ini, terpikir sosok-sosok guru saya. Pikiran saya tertuju pada keadaan para guru ngaji. Orang-orang yang -juga- seprofesi dengan saya. Bagaimana kondisi mereka paska WFH (work from home) dan anjuran social distancing ini. Bagaimana keluarga mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini menggelayuti pikiran saya.
Tak jauh-jauh yang saya amati, adalah para ustadz dan guru ngaji di sekitar rumah saya, juga teman-teman dekat yang sering berinteraksi dengan saya, baik melalui interaksi langsung maupun yang melalui media sosial. Mengamati, bukan berarti mengetahui. Membatin bukan berarti menduga-duga. Sekedar bertanya pun saya tak punya keberanian. Karena, kalau sudah berurusan dengan dapur itu masalah sensitif bagi kebanyakan orang. Dan bagi sebagian besar guru ngaji, bisa jadi ini sangatlah tabu dibicarakan. Karena mereka mengajarkan keikhlasan. Mereka mengajak pada Al-Quran dan pesan-pesan Nabi Muhammad SAW. Mereka, selama ini adalah orang yang paling sering diberi kesempatan memegang mikrofon untuk menyampaikan isi-isi ajaran agama Islam. Sekalipun ada diskusi dan dialog, umumnya merekalah yang ditakdirkan mendominasi pembicaraan majelis-majelis ilmu dan pengajian.
Di lini masa media sosial saya, broadcast grup-grup WA, telegram atau yang lainnya, beberapa kali sudah ada anjuran untuk perhatian kepada orang-orang terdampak COVID19 ini.
Para pahlawan yang harus diperhatikan adalah paramedis yang paling depan, para pedagang kecil, driver ojek online, sekuriti, juga para guru yang merangkap sebagai orang tua karena bekerja di rumah. Tingkat dampak ekonominya memang beragam, tapi mereka-mereka ini -alhamdulillah- sedikit demi sedikit mulai banyak yang membicarakan dan memperhatikan.
Saya tiba-tiba ingat Surah al-Baqarah 273
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”
Ayat-ayat ini lah yang kemudian membuat air mata saya menetes mengingat wajah-wajah teman dan tetangga saya para guru ngaji yang -mohon maaf- menghadapi kesulitan dan di saat yang sama saya tidak bisa banyak berbuat. Kemarin lusa, saya mendapatkan kiriman satu bungkus jahe merah, kiriman seorang ustadz, sebagai sebuah tanda silaturahim.
Saya terenyuh, dalam kondisi sulit, ternyata ada yang mengirimi saya bingkisan. Memang tak mahal-mahal amat harganya, tapi beliau masih sempat berpikir untuk bisa berbagi.
Hati saya lebih terenyuh ketika mengantarkan istri saya membeli buah-buahan, karena sudah cukup lama kami tak merasakan buah (x). Setiba diparkiran, saya mengatakan biar saya saja yang turun. Istri saya menunggu. Yang membuat saya keheranan dan sekaligus kaget, ketika tangis istri saya pecah saat di rumah. Saya bingung, apa ada sesuatu yang salah? Setelah reda saya mencoba mendengarkan curhatnya. Ternyata, sewaktu tadi saya membeli buah, ia menyaksikan dari jarak sedang ada seorang perempuan tengah membuka tempat sampah dan memilah-milah beberapa butir buah-buahan dari dalamnya. Ia sedih karena tak bisa memberinya apapun. Posisi istri saya sedang memegang anak bungsu saya yang masih bayi dalam kondisi terlelap. Perempuan itu tiba-tiba menghilang. Ia juga tak nampak menengadahkan tangan untuk meminta uluran bantuan dan belas kasian.
Malam itu, entah mengapa, buah yang masuk ke mulut saya terasa sangat pahit. Bukan mulut saya yang merasakan pahitnya, namun hati yang teriris melihat ketidakberdayaan namun tak bisa banyak berbuat.
Saya dan keluarga saya pernah mengalami masa-masa sulit, saat saya benar-benar -hanya- menjadi guru ngaji di awal kepulangan saya ke tanah air. Sekalipun hal itu tak disadari banyak orang. Mungkin karena gelar akademik saya sudah pada level tertinggi, menyelesaikan pendidikan strata tiga (doktor), di luar negeri pula.
Alhamdulillah, kami berdamai dengan takdir kesulitan yang diberikan Allah sebagai pembelajaran. Ada banyak hal yang baru saya kisahkan kepada istri saya. Bahkan perlu waktu lebih dari sepuluh tahun untuk memberitahukan kepadanya hal-hal yang tak mungkin dijelaskan saat-saat itu. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah, yang melimpahkan keberkahan-Nya. Yang memberi ujian untuk menempa dan menguatkan.
Batin terasa tenang. Namun, kesulitan hidup tetaplah terasa berat bagi siapapun, karena istri-istri Rasulullah saw pun tetap secara manusiawi digambarkan mengalami kesulitan hidup. Rasanya terlalu jauh membandingkan kondisi kesulitan kita dengan mereka. Karena para nabi adalah orang yang paling mengalami penderitaan dan kesulitan serta paling berat cobaannya. Saya menyebutnya di sini lebih karena mereka adalah panutan dan teladan.
Jika sesama ustadz berkumpul, selalu ada kisah-kisah selingan yang dialami mereka menjadi bahan renungan. Tentunya itu hanya obrolan ringan di sela diskusi serius membicarakan tema khusus atau perencanaan dakwah atau kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Tertukar dengan amplop undangan atau pengumuman, atau isi yang tak sesuai dengan yang ditandatangani, atau hal lainnya. Rasanya pengalaman itu tak hanya dialamai oleh seseorang saja. Apalagi membicarakan masalah “amplop” di depan publik akan terasa tabu.
Umumnya, justru para guru ngaji itu tak pernah benar-benar mengharapkannya. Tapi ketika ia memberikannya kepada istrinya, ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakannya. Tak jarang setelah ia menggenggamnya ia merencanakan sesuatu untuk keluarganya, namun kemudian berubah ketika ada satu hal mendesak lainnya.
Itulah para guru ngaji yang bisa jadi “dimalaikatkan” oleh masyarakatnya. Ia tak boleh terlihat sedih ada terlilit kesulitan. Ia tak boleh terlihat melakukan kekhilafan sekecil apapun. Sekali melakukan kesalahan, akan ada banyak vonis tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan atau bahkan meminta maaf atas sebuah khilaf.
Tapi mengapa para guru ngaji itu bersedia mengambil jalan sulit. Mengapa mereka tak mencoba lebih menambah fokus untuk menambah pendapatan keluarga. Karena mereka sudah punya jadwal pengajian yang harus ditepati. Percayalah, bahkan mereka tak pernah mengarapkan mau diupah berapa. Percayalah, sekalipun mereka memerlukan bantuan, mereka akan meminta kepada Allah saja.
Alhamdulillah, saya tidak benar-benar terdampak secara langsung dengan pandemi Covid19 ini. Meskipun tentu ada berkurangnya. Karena, sudah setahun belakangan ini ada beberapa amanah yang saya emban.
Setelah saya menjadi dosen tetap di sebuah perguruan tinggi, saya mendapatkan salari yang bisa diukur dan diperkirakan setiap bulannya. Apalagi, jabatan struktural ada tunjangannya. Sebagai konsultan sebuah lembaga pun saya diberikan “honor” melebihi kerja saya yang nampak hanya sekedar berbagi ide dan memberi masukan. Alhamdulillah, ada angka yang bisa diotak-atik untuk menyesuaikan cashflow. Pihak sekolah anak-anak kami pun sudah memberikan potongan di masa home learning. Jujur saja memang belanja kuota internet meningkat berlipat-lipat dari hari biasanya. Apalagi, kami sekeluarga bersikukuh untuk tidak memasang jaringan wifi di rumah, karena berbagai pertimbangan. Kami hanya bermodalkan paket data dari telepon selular.
Saya justru berpikir teman-teman saya yang lain bagaimana?
Bukan karena merasa lebih mampu dari mereka atau ingin menjadi pahlawan bagi mereka. Saya hanya merasakan dan mencoba memahami kondisi para guru ngaji ini. Karena, sedikit banyak saya mengetahui seluk beluk dan kondisi keluarga mereka. Meski tentu sebagian besarnya, hanya menerka-nerka saja.
Karena merekalah, saya bisa mengeja huruf hijaiyah dan menghafal ayat-ayat al-Quran. Melalui mereka, Allah membuat saya memahami Bahasa Arab, kaidah-kaidah fikih dan ilmu hadis. Ketegaran mereka lah yang menjadi spirit saya untuk mengambil mayor ilmu al-Quran ketika saya melanjutkan kuliah saya. Dan sejujurnya, pendekatan yang saya ambil bukanlah profitable. Dibimbing insting dan kebiasaan yang sudah terbentuk bertahun-tahun melalui tangan dan bibir mereka yang menularkan energi keikhlasan dalam mengajar dan berbagi ilmu.
Maafkan saya para guru dan sahabat jika terlalu lancang mengisahkan tentang dirimu. Karena aku tak mampu membantu, bahkan untuk sekedar tahu kondisimu saat ini. Agar tetap ada yang memuliakanmu, dalam kondisi sulit seperti ini. Tetaplah membimbing kami. Membersamai kami. Bersabar dengan keterbatasan dan khilaf kami. Berbagi ilmu yang Allah berikan kepadamu dan orang-orang yang Allah kehendaki.
Muliakan guru-guru kami ya Rabb, karena kami belum mampu memuliakan mereka seperti Engkau memuliakan para ahli ilmu dengan cahaya cinta-Mu.