Oleh Ustadz Gufron Azis Fuadi
Kita sering mendengar banyak penceramah atau pemberi sambutan yang mengakhirinya dengan ungkapan “Billahit taufiq wal hidayah…”. Kata Gus Dur, orang NU juga dulu pakai itu, cuma karena dimasa Orba dipakai oleh Golkar, maka membuat seorang ulama NU, Kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, Jawa Tengah menciptakan istilah baru, yaitu “Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq (Allah adalah zat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya).
Kalimat penutup sebelumnya, Billahit taufiq wal hidayah, konon, beliau juga yang menciptakan.
Dalam Al-Qur’an, kata hidayah dan derivasinya tercantum tidak kurang dari 171 ayat dan terdapat pula dalam 52 Hadits.
Secara bahasa, hidayah berarti petunjuk atau bimbingan dari Allah. Adapun secara terminologi berarti penjelasan dan petujuk jalan yang akan menyampaikan seseorang kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah.
Hidayah adalah petunjuk atau bimbingan dari Allah SWT kepada manusia untuk mengetahui jalan yang benar.
Sedangkan taufik adalah kemampuan atau kesanggupan yang diberikan Allah untuk mengikuti petunjuk tersebut.
Dengan demikian, hanya karena Allah lah seseorang bisa menjadi orang yang baik, bisa beribadah, bisa berdzikir, bisa menjadi dai dan yang lainnya. Karena ridak sedikit orang yang memiliki banyak pengetahuan agamanya tetapi tidak lantas menjadi orang yang shaleh dan menjadi pembela (agama) Islam. Allah berfirman:
“Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki..” (An-Nur: 21).
Amr bin Hisyam mendapatkan julukan Abu Jahal (Bapak Kebodohan ) bukan karena bodoh dalam arti tidak punya pengetahuan, karena dia sejatinya adalah cendekiawan kota Mekah sebelum bi’tsat kenabian. Dia tahu kebenaran Islam dan nabi Muhammad Saw, tetapi karena tidak mendapatkan hidayah, maka dia tidak mengikutinya. Begitupun Abi Thalib yang selalu membela nabi dari gangguan para musyrikin Quraisy, sampai akhir hayatnya masih tetap tidak memeluk Islam yang dibawa oleh orang yang paling dicintainya. Bahkan tentang Abu Thalib ini Allah mengingatkan kepada nabi Saw dalam sebuah ayat dalam Al-Quran. Dalam sebuah riwayat dikisahkan,
Rasulullah SAW berkata kepada pamannya, Abu Thalib, “Katakanlah: Tiada tuhan kecuali Allah! Niscaya dengan itu aku akan menolongmu kelak di hari kiamat”.
Abu Thalib menjawab, “Wahai putra saudaraku, andai saja Kaum Quraisy tak mencelaku, pasti aku menyejukkan hatimu dengan itu (mengucapkan kalimat tauhid)”
Terkait dengan dialog diatas maka Allah menurunkan wahyu dalam ayat berikut:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“ Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” . [Al Qashash/28 : 56]
Ayat ini menegaskan bahwa hidayah adalah hak preogratif Allah. Tidak ada yang lain, bahkan nabi sekalipun!
Kita bisa beriman, menjadi Islam, menjadi aktivis dakwah atau prestasi yang lain, semuanya bukan karena kehebatan kita. Bukan karena kemampuan kita. Tapi karena kehendak Allah dan hidayah dari Allah.
Maka dengan kalimat penutup Billahit taufiq wal hidayah harapannya adalah agar apapun pengetahuan yang kita dengar atau kita baca, kita bisa mengetahui hakikat yang sebenarnya serta dapat melaksanakan sebagaimana mestinya, dengan pertolongan Allah tentunya.
Ada doa yang diwasiat nabi Muhammad Saw kepada Mu’adz bin Jabal agar selalu dibacanya:
“Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik”
(Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu).
Hidayah adalah petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia, yang dapat berupa petunjuk terkait keyakinan, jalan hidup, aktivitas hidup, dan lain-lain. Oleh karena itu ada ulama yang mengklasifikasi hidayah menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Hidayah hawasi (petunjuk Allah sehingga kita bisa merespon sesuatu keadaan).
2. Hidayah al-Ilhami (insting, naluri atau nafsu yang dibawa sejak lahir, seperti bayi yang baru lahir ingin menyusu, naluri berkembang biak),
3. Hidayah al-Aqli (akal, petunjuk Allah untuk berfikir dan menggunakan pikiran nya),
4. Hidayah al-Adyani (agama, karena kalau hanya mengandalkan akal budi seseorang tidak akan sampai pada kebenaran yang universal dan hakiki). Oleh karena itu, ada orang yang beragama dengan akal budi saja dan percaya akan adanya Tuhan. Tetapi tidak mengetahui siapa Tuhan yang sesungguhnya.
5. Hidayah Taufiq (pertolongan Allah sehingga mampu mengetahui, mengikuti dan melaksanakan petunjuk tersebut).
Oleh karena itu penting untuk membiasakan membaca doa:
“Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik”,
serta doa yang senada:
Allahumma arinal haqqo haqqo warzuqnat tiba’ah wa arinal batila batila warzuqnajtinabah. Artinya: “Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran kepada kami sebagai kebenaran dan karuniakanlah kepada kami untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan kepada kami sebagai kebatilan dan karuniakanlah kepada kami untuk menjauhinya.”
Kata Imam al Ghazali, orang yang mendapatkan hidayah niscaya dia akan mencintai ibadah… Ibadahnya terjaga dan tidak musiman. Ibadahnya meliputi semuanya, dari mulai:
Ibadah hati (keimanan), iman itu telanjang, pakaianmya adalah takwa dan perhiasannya adalah rasa malu.
Ibadah qauliyah, yaiti dengan berdzikir, tilawah, berkata baik dlsb
Ibadah amaliyah, anggota tubuh.
Ibadah maliah, harta. Hingga menyadari bahwa harta bukan milik kita tapi titipan Allah. Dan dengan harta ini kita akan aribun minallah, qaribun minannas, qaribun minal Jannah.
Wallahua’lam bi shawab