Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Salah satu hasil penting dari kunjungan ke Maluku Utara (15-18 September 2022), adalah perjumpaan dengan dua tokoh dakwah di Maluku Utara. Keduanya adalah kader dakwah Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional yang juga pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah).
Kedua tokoh itu adalah Ustadz Ridwan M. Elyas dan Ustadz Usman Muhammad. Sebelumnya, saya belum pernah berjumpa langsung dengan mereka. Di usianya yang sudah 70 tahun, Ustadz Ridwan sangat aktif dalam aktivitas dakwah. Ia menjemput kami langsung di Bandara Sultan Baabullah Ternate. Selama di Maluku Utara itu, Ustadz Ridwan terus menemani dan aktif mengatur acara.
Padahal, Ustadz Ridwan adalah tokoh senior di Maluku Utara. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Halmahera Tengah. Disamping sebagai Ketua Majelis Syuro Dewan Da’wah, ia pun kini menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Maluku Utara dan juga Ketua BPH Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
Dalam berbagai kesempatan, Ustadz Ridwan senantiasa mengingatkan pesan-pesan Pak Natsir, agar dalam dakwah senantiasa memiliki cita-cita yang tinggi, bersungguh-sungguh dan ikhlas. Nasehat Pak Natsir itu tampaknya benar-benar ia hayati dan ia pegang teguh.
Dalam kiprah dakwahnya selama ini, ia telah mengirimkan banyak dai ke berbagai pelosok Maluku dan Papua. Yang patut disyukuri, ia pun telah memelopori pendirian tiga Pondok Pesantren di Maluku Utara, yaitu Pesantren Ibadur Rahman dan Pesantren Salman al-Farisi di Halmahera dan Pesantren Ali bin Abi Thalib di Pulau Tidore. Alhamdulillah, saya sempat mengunjungi Pesantren Salman al-Farisi dan Pesantren Ali bin Abi Thalib.
Tiga pesantren itu kini dipimpin oleh anak, menantu, dan kader dakwahnya. Ini menunjukkan Ustadz Ridwan sangat peduli dengan kaderisasi. Ia pun telah mengirimkan ratusan kader-kader dai untuk “nyantri” di beberapa pesantren di Pulau Jawa. Tapi, menurutnya, tidak banyak yang kembali dan berkiprah sebagai dai di Maluku Utara. Toh, ia terus bergerak dan tidak menyerah.
Keberadaan tiga pesantren itu sangat strategis dalam pengembangan dakwah di Maluku Utara. Di Pesantren Salman al-Farisi saya sempat berdialog dengan para pimpinan dan guru. Pesantren ini berdiri tahun 2014 dan kini memiliki sekitar 250 santri dengan luas tanah 15 hekar.
Sesuai dengan kebijakan pendidikan Dewan Da’wah, kepada pimpinan dan para guru pesantren, saya menyampaikan pentingnya menyadari tantangan pendidikan di zaman modern. Meskipun lokasinya di pelosok, tetapi pesantren ini telah menjadi warga global, karena telah terjangkau internet. Karena itu, mereka harus berpikir sebagai warga global.
Dominasi paham sekularisme dan materialisme dalam pendidikan modern juga sulit dihindarkan, sebab paham-paham itu masuk juga ke dalam kurikulum pendidikan. Beberapa buku ajar yang digunakan pun tak lepas dari infiltrasi paham sekularisme. Karena itu, para guru di pesantren perlu bersikap kritis dalam menyampaikan bahan-bahan ajar yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Para guru juga perlu mendapatkan pembinaan secara intelektual, sehingga mereka disiapkan sebagai kader-kader ilmuwan yang akan memimpin bangkitnya peradaban di Maluku Utara, khususnya. Sebab, di era disrupsi saat ini, sebenarnya tidak ada lagi perbedaan antara kota dan pelosok. Semua sudah memiliki sumber informasi yang sama.
Peluang ini seyogyanya dimanfaatkan untuk melakukan percepatan kaderisasi ulama dan cendekiawan, sehingga dalam 5-10 tahun ke depan, muncul puluhan ulama kaliber nasional dari daerah ini. Jadi, pembangunan pesantren oleh kader dakwah Pak Natsir ini memiliki posisi strategis dalam pengembangan dakwah dan pembangunan peradaban Islam di masa depan.
*****
Kader dakwah Pak Natsir lain di Maluku Utara ini adalah Ustadz H. Usman Muhammad, SH, M.Pd. Ia adalah ketua MUI Kota Ternate. Ia adalah lulusan PGAN 6 Tahun di Ternate. Tahun 1979, Ustadz Usman mengikuti kursus Muballigh yang dilaksanakan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Maluku Utara-Irian Jaya selama 14 hari di Kota Ternate. Pelatihan itu dimaksudkan untuk menyiapkan dai yang akan diterjunkan di daerah Transmigrasi di Maluku Utara dan Irian Jaya (Papua).
Pada bulan Maret 1980, secara resmi Ustadz Usman ditugaskan oleh Dewan Da’wah untuk bertugas sebagai dai di lokasi Transmigrasi Desa Besum, Kecamatan Nimbokram, Kabupaten Jayapura Provinsi Irian Jaya. Jaraknya, sekitar 85 km dari Kota Jayapura. Disamping itu, ia juga menjadi guru SD di Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) Jayapura.
Tahun 1981, seluruh dai Dewan Da’wah yang tersebar di seluruh Indonesia dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti Kursus Muballigh Lanjutan. Waktunya dua bulan. Peserta seluruhnya sekitar 300 orang. Kursus ini merupakan kerjasama antara Departemen Agama dan Rabithah Alam Islami. Dalam kursus itu, Ustadz Usman masuk ke dalam 25 peserta terbaik. Setelah itu, ia kembali ke Jayapura untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai dai Dewan Da’wah.
Kini, setelah 25 tahun berkiprah sebagai dai di Papua, Ustadz Usman aktif mengajar sebagai dosen, memimpin MUI Kota Ternate, dan juga menulis. Ada tiga buku karyanya yang sudah ditebitkan, yaitu: (1) Ibadah: Modal Dasar Manusia Modern dalam Menghadapi Permasalahan Hidup (2) Islam, Solusi Terbaik atas Problematika Manusia Modern, (3) Jangan Bermaksiat dalam Berpolitik dan Berekonomi.
*****
Kisah dua kader dakwah Mohammad Natsir di Maluku Utara ini menunjukkan, bahwa Pak Natsir sangat konsisten dengan gagasan Islam dan NKRI. Pak Natsir diakui memiliki jasa besar dalam mengajukan Mosi Integral pada 4 April 1950, yang mengantarkan kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan.
Pak Natsir pun yakin bahwa “Islam” adalah faktor penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Sebab, Indonesia akan semakin kokoh dan berjaya jika penduduknya adalah manusia-manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Karena itulah, ratusan dai yang dikirim ke berbagai daerah pelosok tanah air diberikan tugas penting untuk mengawal aqidah umat dan menjaga keutuhan NKRI. Wallahu A’lam bish-shawab.