لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijrah tidaklah berhenti hingga taubat berhenti (tidak diterima lagi). Taubat tidaklah diterima lagi ketika matahari telah terbit dari tempat tenggelamnya (arah barat).” (HR. Abu Daud no. 2479 dan Ahmad)
Seperti malam yang gelap, bergeser mengikuti taqdirnya ke arah terang. Demikian pula san manusia, ditaqdirkan mengikuti perubahan. Dari kecil, remaja, dewasa, tua dan menjemput kuasa Ilahi. Setiap yang baru selalu terkena hukum perubahn. Manusia dan alam sekitarnya, mengalami perubahan.
Perubahan itu kata indah, dan tentu kesannya positif. Jika perubahan itu justru bergeser ke yang negatif, namanya menjadi rusak. Dalam perubahan yang mewujud kebaikan disebut dengan Hijrah. Boleh jadi hijrahnya bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Begitulah Hijrah Rasul bersama sahabat-Nya, dari Makkah ke Madinah. Melaksanakan tugas suci dari Allah swt, membuktikan keimanan dan memotivasi diri tentang janji Rabbani. Hijrah model seperti ini dinamakan Hijrah makani, menunjukkan tempat.
Model makani sudah berhenti sejak Madinah dikelola menjadi pusat peradaban Islam. Tapi jika dilihat dari manfaatnya, maqashidu syariah, sepertinya masih bisa dikelola karena luasnya wilayah dan menyebarnya manusia sebagai obyek perubahan.
Sebagai tujuan alam ini diciptakan, Hijrah itu bergeser dari satu kondisi yang negatif ke arah positif. Dari yang merusak mengarah pada satu eksistensi yang membangun. Perubahan yang berdimensi makna, atau nilai. Proesesnya masih panjang dan dapat diprediksi pengelolaannya. Jika begitu, Hijrah harus disiapkan dengan baik. Karena perubahannya tak mungkin tiba-tiba dan dimulai dari yang besar.
Tak mengapa perubahan itu sedikit, ataupun kecil. Biarkan perubahan itu berproses, untuk latihan dan pemantasan, juga agar lebih biasa berada dalam situasi perubahan. Bahkan, perubahan itu memerlukan pengorbanan, mungkin juga nyawa, air mata, darah dan kepiluan yang menyayat.
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ # الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal. (QS. An-Nahl, 41-42)
Seperti bergesernya malam di saat pagi, terlihat kemudian matahari yang bersinar sedikit demi sedikit. Memberi manfaat bagi kehidupan. Bisa dibayangkan, jika malam tak bergeser, berapa banyak makhluk hidup yang kecewa, nelangsa dan mati, apalagi jika matahari sudah terbit dari barat. Hijrahnya pemuda menjadi hidup berumah tangga, adalah masa depan kehidupan. Menyiapkan anak sebagai generasi pelanjutnya, meneruskan amal kebajikan yang dulu dicontohkan sang Nabi al-Musthafa Muhammad saw.
Tak mungkin jadi garis yang memanjang, jika tidak diawali dari titik-titik yang disambung. Tak mungkin jadi pemimpin yang amanah, jika tak dimulai dari menjadi rakyat yang baik. Meluruskan garis itu penting, seperti menyambung kebaikan dalam hidup.
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Tidak ada hijrah setelah Fathul Makkah yang ada hanyalah jihad dan niat. Oleh karena itu, jika kalian diperintah untuk berjihad oleh imam, maka berangkatlah.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 2783 dan Muslim no. 1353).
Berhijrahlah! Karena ia adalah keniscayaan. Menolah hijrah hanya akan meninggalkan penyesalan diakhirnya. Mengapa? Karena hijrah adalah kehidupan itu sendiri, milik setiap individu, karunia yang telah azali ditancapkan dalam bentuk iman.
Selamat Tahun Baru Hijriah 1444 H. Tetaplah menjadi manusia, dengan iman yang terus dirawat dan didayagunakan bagi kehidupan dunia serta akhirat.
Busway, 29/7/22