Oleh KH. ANSORI, S.P.
(Sekretaris Dewan Dakwah Lampung dan Anggota Komisi Dakwah MUI Lampung)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan mulia. Sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30), manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan dunia. Di sisi lain, manusia juga diciptakan sebagai hamba yang bertugas untuk beribadah kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat: 56):
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”
Namun, bagaimana kita menilai tingkat keimanan diri sendiri? Apakah kita termasuk orang beriman, munafik, atau bahkan kafir? Kuncinya ada pada hubungan kita dengan dunia. Dunia di sini mencakup segala hal yang disenangi oleh hawa nafsu, seperti jabatan, harta, kendaraan, bisnis, ketenaran, dan keindahan rupa.
Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, memberikan panduan sederhana namun mendalam. Ia membagi hubungan manusia dengan dunia menjadi tiga kategori: sebagai bekal, perhiasan, atau kenikmatan. Ketiga kategori ini mencerminkan posisi seseorang dalam hal keimanan.
- Orang Beriman: Dunia Sebagai Bekal
Orang beriman memandang dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat. Jabatan, harta, dan ketenaran digunakan sesuai dengan kehendak Allah. Misalnya:
- Jabatan: Digunakan untuk melindungi, memakmurkan, dan menegakkan keadilan bagi masyarakat.
- Harta: Dialokasikan untuk menyejahterakan keluarga, membantu kerabat dan tetangga, serta mendukung agama melalui zakat, infaq, dan wakaf.
Bagi orang beriman, dunia bukan tujuan, melainkan alat untuk meraih ridha Allah.
- Orang Munafik: Dunia Sebagai Perhiasan
Orang munafik menjadikan dunia sebagai simbol status sosial atau kebanggaan diri. Pangkat, harta, dan ketenaran digunakan untuk menunjukkan kemegahan, bukan untuk kemaslahatan.
- Mereka memanfaatkan dunia demi pengakuan atau pujian dari orang lain.
- Nilai-nilai kebaikan seringkali hanya dilakukan sebagai pencitraan tanpa landasan iman yang kokoh.
- Orang Kafir: Dunia Sebagai Kenikmatan
Orang kafir memandang dunia sebagai sumber kesenangan semata. Kelompok ini terbagi menjadi dua:
- Kafir yang tidak percaya kepada Allah: Mereka memperoleh dunia dengan segala cara, tanpa mempedulikan halal dan haram. Harta dan jabatan digunakan untuk bersenang-senang semata.
- Kafir yang menolak kerasulan Nabi Muhammad SAW: Meski beragama, mereka tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kelompok ini sering meyakini bahwa jalan agama mereka sudah cukup untuk mengantarkan mereka ke surga, tanpa mengikuti ajaran Islam secara utuh.
Mengukur Diri: Dimana Posisi Kita?
Panduan dari Abdullah bin Abbas ini mengajak kita untuk introspeksi. Apakah dunia yang kita miliki digunakan untuk bekal menuju akhirat, hanya sebagai perhiasan, atau semata-mata untuk kenikmatan? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi cerminan posisi kita dalam hal keimanan.
Bagi orang beriman, dunia adalah ladang amal yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sementara itu, orang munafik dan kafir menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, sehingga melalaikan mereka dari mengingat Allah.
Penutup
Setiap kita memiliki pilihan untuk menentukan bagaimana memandang dan menggunakan dunia. Sebagai khalifah sekaligus hamba Allah, mari kita jadikan dunia sebagai bekal untuk akhirat, bukan sekadar perhiasan atau kenikmatan semata.