Oleh
Ustadz Gufron Azis Fuadi
Ini bukan tentang lagunya Anisa Rahman, Muhasabah Cinta. Tetapi ini sebuah upaya memahami respon seorang pembaca terhadap tulisan terdahulu.
Pada tulisan sebelumnya, “Keluarga, Qa’idah Da’wiyah” ada yang memberikan respon dengan mengatakan bila keluarga adalah home base dakwah berarti yang ada didalamnya bukan cuma satu dong yang jadi dai. Berarti suami, istri dan anak anak harus menjadi pendukung dahwah…
Tentu, ya!
Jangan sampai di dalam home base ada penyusup atau musuh dalam selimut. Sekecil apapun. Karena meskipun kecil, seperti kerikil dalam sepatu, akan sangat mengganggu gerak perjalanan.
Ada juga yang menanggapi tentang ngencupi, dengan mengatakan bahwa kebanyakan kita menikah bukan karena “jatuh cinta” tetapi karena “mencintai” kan?
Maksudnya?
Begini. ‘Cinta’ adalah kata sifat/keadaan sedangkan ‘Mencintai’ adalah kata kerja.
Cinta adalah perasaan indah yang menjadi emosi paling mendalam dan sulit untuk dijelaskan bagi siapa pun. Meskipun semua orang bisa merasakan emosi ini, ada banyak yang tidak dapat membedakan antara “jatuh cinta pada seseorang” dengan “mencintai seseorang”.
Memahami dua kondisi ini dapat membantu kita mengetahui perasaan kita sendiri terhadap seseorang.
Jatuh cinta, katanya, terjadi begitu saja sedangkan mencintai merupakan pilihan
Jatuh cinta pada seseorang terjadi begitu saja sebagai respons otomatis untuk apa yang dilihat oleh pikiran sebagai sesuatu yang menyenangkan. Jatuh cinta bisa terjadi kapan saja dan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Biasanya, seseorang akan jatuh cinta pada seseorang yang mewakili definisi “kesempurnaan” baginya. Bisa karena kecantikannya, kekayaannya, derajat sosialnya, kecerdasannya dan lain sebagainya. Bahkan ada yang karena kacamata nya.
Sedangkan kata “mencintai” adalah kata kerja transitif abstrak. Kata kerja transitif adalah kata kerja yang memerlukan objek, dalam hal ini adalah seseorang atau sesuatu yang dicintai.
Sementara kata kerja abstrak berarti kegiatannya tidak dapat digambarkan secara konkrit.
Mencintai sesuatu obyek, seseorang misalnya, adalah sebuah pilihan yang dibuat secara sadar. Karenanya mencintai membutuhkan usaha yang konstan dan konsisten, dimana usaha ini tidak seperti tanggung jawab atau kewajiban. Usaha mencintai adalah seperti rasa kesediaan untuk berkomitmen mencintai orang itu setiap saat, terlepas dari ketidaksempurnaan dan kekurangannya.
Mencintai adalah pilihan, termasuk mencintai siapa atau obyek apa.
Seperti dalam surat At Taubah, 24:
Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”
Karena kebanyakan dari para dai menikah bukan diawali dengan karena jatuh cinta maka butuh effort yang konstan dan konsisten dalam mencintai pasangannya. Upaya saling mencintai, tidak lebih rendah atau tidak lebih lemah dari jatuh cinta dalam mewujudkan keluarga yang penuh asmara (as-sakinah, mawaddah warahmah).
Daimana sakinah sering dimaknai sebagai tentram dan harmonis, sedangkan mawaddah
bermakna kasih yang ditandai adanya rasa cinta yang terwujud dengan bersedia saling memberi. Sementara arrahmah bermakna sayang yang berwujud bersedia saling menerima kekurangan masing-masing.
Dari sini kita bisa memahami makna kata kata bijak leluhur,
“Witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya “cinta tumbuh karena terbiasa”. Ungkapan ini dapat diartikan bahwa rasa cinta dapat muncul antara dua orang karena sering atau terbiasa dalam kebersamaan, terbiasa bertemu, dan terbiasa mengobrol. Atau karena kesamaan visi dan misi.
Keluarga yang dibangun dengan upaya saling mencintai bisa kebih langgeng dari pada yang berdasarkan karena jatuh cinta. Sebab dalam mencintai, tidak hanya melihat kelebihan atau kesempurnaan tetapi juga menerima kekurangan. Sehingga ruang bersyukurnya lebih luas dibanding ruang kecewanya.
Seperti ungkapan seseorang yang sudah mencapai usia emas pernikahannya ketika ditanya apa rahasianya sehingga terlihat harmonis dan langgeng dengan pasangannya. Apakah pasangannya begitu sempurna?
“Tidak. Tidak sempurna sana sekali, kekurangannya bahkan bagaikan bintang di langit banyaknya. Sedangkan kebaikan jauh lebih sedikit. Tetapi kebaikannya itu bagaikan matahari. Sebanyak apapun bintang di langit, akan sirna saat (satu) matahari muncul, terbit!
Bahwa dalam perjalanan membangun keluarga ada beberapa kendala, itu adalah sesuatu yang manusiawi. Karena perjalanan asmara itu bukan hanya tentang rindu dan cinta. Tetapi lebih kompleks, sebagaimana digambarkan dalam tembang Asmarandana.
Dimana Tembang Asmarandana selalu memiliki watak atau pergolakan yang menggambarkan berbagai perasaan: senang, gembira, sedih, cinta, kasih sayang, kecewa, hingga patah hati. Pendeknya kehidupan asmara itu lebih beragam dibanding permen Nano nano yang hanya ada rasa manis, asem dan asinnya. Tidak ada pahitnya.
Diakhir tahun ini, tidak ada salahnya kita melakukan muhasabah cinta terhadap pasangan dan keluarga kita. Pasangan kita yang tidak sempurna sebagaimana kita yang juga tidak sempurna.
Secara sersan, ketika istri bertanya, nggak bosen tah setiap hari makan tahu tempe?
Saya sering menjawab, tahu nggak apa yang lebih tidak pernah membosankan… Terus mencintai mu…!
(Ingat ya, mencintai itu kata kerja!)
Wallahua’lam bi shawab