Di tengah masyarakat, sering kali terjadi kesalahpahaman dalam menilai kualitas bacaan Al-Qur’an. Tidak jarang, penilaian itu semata-mata didasarkan pada kemerduan suara dan keindahan nada yang dilantunkan, tanpa memperhatikan kebenaran pengucapan huruf sesuai kaidah tajwid. Padahal, tajwid merupakan inti dari bacaan Al-Qur’an yang benar, sedangkan keindahan suara hanyalah pelengkap.
Fenomena ini terlihat dalam berbagai acara, baik lomba tilawah maupun pembacaan Al-Qur’an di masjid. Banyak orang terpukau oleh irama dan kelunakan suara qari, namun jika diteliti, terkadang terdapat kesalahan pada makhraj, sifat huruf, atau hukum-hukum tajwid. Kesalahan seperti ini dapat merusak makna ayat dan mengurangi keabsahan bacaan.
Para ulama telah menegaskan bahwa bacaan yang benar adalah bacaan yang sesuai dengan kaidah tajwid yang diwariskan secara sanad dari para qurra’ hingga Rasulullah. Adapun suara merdu adalah hiasan yang menambah kekhusyukan pendengar, namun tidak boleh mengalahkan kewajiban menjaga kebenaran bacaan.
Pandangan ini dikuatkan Syeikh Dr. Aiman Rusydi Suwaid tentang membaca Al-Qur’an dengan lagu ia menganggap bacaan Al-Qur’an tidak boleh dibuat seperti nyanyian, karena Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan untuk dihibur-hibur. Beliau menekankan bahwa tujuan dari menghiasi Al-Qur’an dengan suara yang indah adalah agar hati dapat mendengarkan dan memahami maknanya serta menaati Allah, bukan untuk menjadikannya alat nyanyian.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Abu Daud no. 1469)
Hadits ini sering disalahpahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa yang utama adalah memperindah suara. Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, maksud yataghanna bukan sekadar melagukan, tetapi membaca dengan suara yang baik disertai penghayatan, dan tetap menjaga hukum tajwid.
Al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir berkata :
محمد عليه الصلاة والسلام لم يأذن الله لشيء ما أذن له أن يتغنّى بالقرآن، وأما القراءة بالألحان الموضوعة للأغاني، فإذا أخرجت الألفاظ عن مخارجها، فهذا محظور. وأما تحسين الصوت فمباح.
“Rasulullah ﷺ diberi izin Allah untuk memperindah membaca Al-Qur’an, adapun membaca dengan lagu yang menyerupai musik apabila itu mengubah huruf dari makhrajnya maka itu dilarang. Sedangkan memperbagus suara (tanpa mengubah hukum bacaan) adalah diperbolehkan.”
Ibnul Jazari dalam Muqaddimah al-Jazariyyah berkata :
وَالْأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لَازِمُ، مَنْ لَمْ يُصَحِّحِ الْقُرْآنَ آثِمُ
“Mempelajari dan menerapkan tajwid itu hukumnya wajib. Barang siapa membaca Al-Qur’an tanpa membenarkan (tajwidnya), maka ia berdosa.” (Muqaddimah al-Jazariyyah, bait ke-27)
Ini menunjukkan bahwa standar utama bacaan Al-Qur’an yang baik adalah kebenaran bacaan sesuai tajwid, bukan sekadar merdu atau indah didengar.
Bacaan yang benar menurut para ulama adalah bacaan yang :
1. Sesuai dengan kaidah tajwid yang sahih, baik dari segi makhraj, sifat huruf, maupun hukum bacaannya.
2. Dapat ditelusuri sanadnya hingga Rasulullah melalui riwayat yang mutawatir.
3. Disertai adab tilawah, termasuk membaca dengan tartil dan penuh kekhusyukan.
Maka, edukasi kepada kaum muslimin sangatlah penting, bahwa bacaan Al-Qur’an yang benar bukan semata-mata dinilai dari indahnya suara, melainkan dari kebenaran tajwidnya. Suara indah adalah pelengkap yang menyempurnakan tilawah, namun yang paling utama adalah memastikan bacaan itu sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah dan diwariskan melalui para qurra’ dari generasi ke generasi.
Ust. M. Arifin Al Aziz, Al Hafizh
(Mudir PPTQ Dewan Da’wah Lampung)