Lampung – Indonesia patut berbangga! Dari sudut kamar pesantren di Lampung, sebuah kisah inspiratif terukir. Azka Zukhrufa Syifatuzzahra Al Arif, seorang hafizhah muda asal Bangka Belitung, berhasil menaklukkan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya, salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbaik di Indonesia. Pencapaian ini bukan sekadar keberuntungan, melainkan buah dari ketekunan menghafal Al-Qur’an, nilai akademik yang gemilang, dan pondasi spiritual yang kuat.
Lampu kamar kecil di Pondok Pesantren Tahfidz Putri Dewan Da’wah Lampung masih menyala lembut di tengah malam. Azka, 17 tahun, duduk bersila di atas kasurnya. Matanya lelah namun penuh keteguhan menatap lembaran-lembaran hafalan Al-Qur’an di tangannya. Mushaf itu ia genggam erat, bibirnya tak henti bergerak perlahan, mengulang ayat-ayat suci yang hampir ia kuasai sempurna.
Dalam kesempatan menelpon orang tua di awal bulan, Azka selalu mendapat suntikan semangat. “Nak, Umi yakin besok ujian tahfidzmu lancar. Umi salat malam buat kamu. Jaga adabmu pada gurumu, maka Allah akan memudahkanmu dalam menuntut ilmu,” pesan ibunya, yang juga seorang tenaga medis di Bangka Belitung, dengan suara penuh keyakinan. Pesan itu selalu terpatri dalam benak Azka.
Azka tidak datang ke pondok ini tanpa alasan. Orang tuanya, terutama ibunya, sengaja memilih PPTQ Putri Dewan Da’wah Lampung. *Mereka memiliki kepercayaan yang sangat besar terhadap pondok pesantren ini, meyakini bahwa di sinilah nilai-nilai agama dan keimanan akan tertanam dengan kokoh, di samping dorongan kuat dalam pencapaian akademik.*
“Dulu, banyak yang bilang, ‘Ngapain masuk pesantren kalau mau jadi dokter hewan? Lebih baik fokus sekolah umum saja.’ Tapi saya dan suami percaya penuh, jika Allah sudah menggariskan jalan terbaik untuk Azka, maka pondok ini adalah tempat yang tepat untuknya menggali ilmu dunia dan akhirat,” kisah sang ibu, suaranya sesekali tercekat menahan haru.
Keyakinan itu terbukti. Selepas Haflah Akhirussanah, saat berkumpul dengan keluarga di ruang tamu, Azka membuka ponselnya dan memasukkan nomor pendaftaran universitas. Tangannya bergetar saat notifikasi kelulusan muncul. “ALHAMDULILLAH!!!” teriaknya, melompat kegirangan. “Umi, Azka diterima di Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya!” Air mata haru dan syukur tak terbendung dari mata sang ibu, seraya mengucap “ALHAMDULILLAH…” berulang kali.
Hidup di pondok bukan perkara mudah. Bangun pukul 02.00 dini hari untuk shalat Tahajud, di tengah kebanyakan manusia tertidur pulas. Azka termasuk santri yang rajin menyetorkan hafalannya sebelum Subuh, lalu dijejali dengan pelajaran diniyah, menghafal hadits, dan muroja’ah hingga petang. *Kecintaannya pada hewan yang tumbuh sejak kecil, seolah menjadi motivasi tersembunyi yang menguatkannya menjalani hari-hari padat di pondok.* Tak jarang Azka tertidur di atas mushaf saat malam hari karena kelelahan. Tapi ia tak pernah mengeluh, tekadnya bulat.
Ustadzah Fatimah, salah satu pengajar tahfidz, tak sekadar mengajar melafalkan ayat. Ia juga yang selalu mengingatkan: “Menghafal Al-Qur’an itu ibadah, tapi ilmu dunia juga ibadah. Jangan sampai karena tahfidz, kalian lupa bahwa Rasulullah pun memerintahkan kita untuk belajar ilmu dunia.” Doa-doa tulus dari para ustadzah di pondok, yang selalu menyertai para santri, menjadi energi tambahan bagi Azka.
Sekarang, Azka mempersiapkan diri menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa kedokteran hewan—tanpa meninggalkan hafalannya. “Saya janji sama ibu dan ustadzah, saya akan jaga hafalan 16 juz ini sampai kapan pun, in shaa Allah Azka juga akan menambah hafalan Azka” ujarnya tegas.
Sementara itu, PPTQ Putri Dewan Da’wah Lampung mencatat namanya di dinding prestasi pondok. Di bawah fotonya, tertulis satu kalimat pendek: “Santri biasa saja bisa kuliah di PTN favorit. Asalkan ia punya tiga hal: keyakinan, dukungan keluarga, dan guru-guru yang tulus.”
Azka kini menjadi bukti bahwa rahmat Allah bisa datang dari mana saja—dari setiap malam yang dihabiskannya membaca Al-Qur’an, dari setiap doa ibu yang tak putus di setiap sepertiga malam, dan dari setiap *kepercayaan orang tua* yang memilihkan jalan terbaik untuk anaknya.
Pondok tahfidz bukan penghalang mimpi, melainkan *tangga menuju surga dan kesuksesan dunia*.