Di tengah polemik efisiensi anggaran dan ketergantungan besar APBN pada pajak rakyat, menarik jika kita menengok ke masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra. Sejarah mencatat, Umar berhasil membangun sistem keuangan negara yang kokoh, berkeadilan, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Salah satu terobosannya adalah kebijakan pengelolaan tanah hasil futuhat. Alih-alih membagi tanah itu kepada tentara, Umar menjadikannya milik negara untuk dikelola dan hasilnya disalurkan melalui kharaj—semacam sewa tanah negara. Hasil kharaj inilah yang menjadi sumber pemasukan permanen, menopang baitul mal tanpa harus terus-menerus memeras rakyat lewat pungutan.
Konsep ini, bila ditarik ke masa kini, menyerupai BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Bedanya, BUMN ala Umar bukan untuk memperkaya elite atau sekadar mengejar laba, melainkan sebagai instrumen kedaulatan ekonomi yang hasilnya kembali kepada rakyat. Hasanuzzaman (1991) mencatat, berkat pengelolaan kharaj, negara mampu memberikan tunjangan tetap, bahkan pensiun kepada rakyat di masa Umar. Inilah bentuk nyata negara hadir untuk menyejahterakan warganya.
Sayangnya, praktik BUMN di Indonesia hari ini sering jauh panggang dari api. Banyak BUMN justru menjadi pos beban negara, disuntik dana dari APBN yang mayoritas bersumber dari pajak rakyat. Alih-alih menghasilkan surplus untuk kesejahteraan, malah menimbulkan defisit, inefisiensi, dan kadang menjadi ladang bancakan.
Di saat yang sama, negara juga membentuk berbagai dana khusus, termasuk dana abadi dan dana cadangan lain, yang tetap bersumber dari APBN. Kritik publik pun muncul: sampai kapan rakyat harus terus menanggung beban, sementara aset strategis negara tidak benar-benar produktif?
Pelajaran dari Umar bin Khattab jelas: negara harus memiliki sumber pemasukan yang permanen dan tidak membebani rakyat. Tanah, tambang, energi, dan sumber daya publik lain seharusnya dikelola layaknya kharaj—bukan untuk segelintir pihak, melainkan untuk generasi kini dan mendatang.
BUMN seharusnya bukan “ladang bisnis elite”, melainkan instrumen kedaulatan ekonomi bangsa. Jika di masa Umar kharaj bisa membiayai tunjangan rakyat, maka hari ini seharusnya BUMN mampu menopang anggaran sosial, kesehatan, pendidikan, dan pembangunan tanpa terus menambah utang atau pajak baru.
Kesimpulannya, BUMN ala Umar bin Khattab berorientasi pada amanah dan maslahat. Konsep ini bisa menjadi inspirasi: bagaimana seharusnya negara mengelola aset strategis agar hasilnya benar-benar dirasakan rakyat, bukan malah menjadi beban rakyat.
Oleh: Farizal, SEI
Mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam SEBI | Pengurus Bidang Wakaf, Ekonomi dan Aset Dewan Da’wah Lampung