Bila kita membaca sejarah Golkar, kita akan menemukan bahwa kekuatan Golkar ditopang oleh tiga pilar yang dikenal dengan pilar ABG, ABRI, Birokrasi dan Golkar. Ketika PKI mengalami penguatan yang signifikan, pada tahun menjelang kudeta G 30 S- PKI, yang kekuatan politik realnya melebihi kekuatannya saat pemilu 1955 yang menduduki rangking ke-4, para perwira AD di circle nya Suharto membentuk Sekber Golkar. Sekretariat Bersama Golongan Karya ini dibentuk sedikitnya oleh 61 organisasi yang tergabung dalam 7 KINO atau kelompok induk organisasi berdasarkan sifat atau jenis kekaryaannya. Diantaranya adalah Kosgoro, MKGR, Gakari, Soksi dan lainnya.
Belakangan sejalan dengan semakin menguatnya posisi politik Golkar, tidak kurang ada 291 organisasi yang bergabung di dalamnya.
Maka dengan penguasaan yang kuat di semua sektor (sektor publik yaitu birokrat dan pejabat negara/pemerintahan, sektor privat seperti para pengusaha dan profesional, serta sektor ketiga seperti ormas, budayawan bahkan ulama) tak pelak Golkar, neskipun bukan partai, tetapi selalu memenangi pemilu dari sejak tahun 1971 sampai tahun 1997.
Mungkin dimasa yang akan datang tidak akan ada lagi partai politik yang sedigdaya Golkar pada masa orde Baru. Karena tidak ada yang bisa mengumpulkan kekuatan ABG dalam satu wadah.
Tetapi partai apapun harus melakukan deferensiasi rekrutmen massa nya menjadi lebih heterogen. Bila hanya mengandalkan ceruk homogen, dipastikan akan sulit menjadi lebih besar.
Maka meskipun saat reformasi, Golkar dan pak Harto, yang juga merupakan ketua dewan Pembina, dituding yang paling bertanggung jawab terpuruknya kondisi bangsa, tetapi Golkar masih kuat dan berhasil bertahan di posisi nomor dua pada pemilu 1999. Tentu karena cengkeramannya terhadap tiga sektor diatas belum sepenuhnya lepas.
Belajar dari Golkar jaman awal sebelum reformasi penguatan pada kelompok profesional birokrat, maupun kelompok kultural seperti budayawan, pengusaha dan ulama menjadi sesuatu yang penting dan perlu. Selain tentunya penguatan pada kelompok struktural.
Selama ini, penguatan pada kelompok profesional dan struktural sudah dilakukan, tetapi untuk kelompok kultural belum mendapatkan perhatian serius. Padahal kelompok ini bila dikelola dengan serius bisa memberikan sumbangsih yang besar, karena ladang nya luas. Tetapi memang yang menggarap lahan ini harus tidak berbau struktural. Sebab bagaimanapun juga, struktural akan memiliki atau membuat sekat. Betapapun sekat itu mungkin setipis kulit ari tapi tetaplah itu sekat namanya.
Apa yang disebut masyarakat kultural pada hakikatnya adalah masyarakat multikultural, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok budaya, etnis, agama, profesi dan tradisi yang berbeda-beda.
Para aktifis dakwah kultural lebih mungkin untuk bisa diterima oleh masyarakat multikultural tersebut. Karena para kulturalis bisa lebih leluasa mengenal nilai nilai rahmatan lil ‘alamin. Sebab yang mereka dakwahkan adalah islamiyah qobla jamaiyah.
Oleh karena itu dalam penyusunan personil struktural ada baiknya personal yang berpotensi kultural tidak dilibatkan. Tidak dipaksa masuk!
Kemudian para personil potensial kultural dikelola dalam kluster sendiri sehingga suatu saat nanti akan menjadi senjata atau jurus simpanan. Bahkan jurus pamungkas. Seperti halnya yang dilakukan oleh Brama Kumbara dengan ajian “Lemah Lumpuh” yang menjadi senjata simpanan ketika menghadapi musuh yang sangat kuat.
Wallahu a’lam bi shawab
(Gaf)