Tidak lama setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pasukan sekutu Inggris sebagai pihak pemenang Perang Dunia II datang ke Indonesia. Tentu tentara Inggris tidak datang sendirian, tetapi bersama pasukan NICA Belanda yang membonceng di belakang nya.
Pasukan Sekutu Inggris di Surabaya segera mengeluarkan ultimatum (9/10/45) yang berisi perintah agar pimpinan dan rakyat Surabaya menyerahkan senjata dan mengakui kekuasaan mereka. Ini menyusul tewasnya seorang jendral mereka, Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby. Ia terbunuh dalam baku tembak saat Pertempuran Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945.
Ultimatum Inggris untuk melucuti senjata para pejuang kemerdekaan itu berbatas waktu sampai tanggal 10 November 1945 pukul 9.00.
Ultimatum itu bagaikan “ulo marani gebuk” (ular mendatangi kayu pemukul) bagi para pejuang, khususnya kaum muslimin, khususnya lagi yang di Jawa dan Madura. Mengingat belum dua Minggu musyawarah besar para ulama se Jawa dan Madura mengeluarkan fatwa yang kemudian dikenal dengan “resolusi jihad”
Resolusi Jihad dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi ini diprakarsai oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan merupakan fatwa yang mewajibkan umat Islam untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajah.
Ultimatum ini menjadi momentum rakyat untuk merealisasikan resolusi jihad tersebut, sehingga meletuslah pertempuran hebat pada 10 November 1945 di Surabaya.
Itulah mengapa perang 10 Nopember 1945 kerap diiringi dengan kumandang adzan dan pekikan takbir. Allahu Akbar…!
Tidak hanya di Surabaya, perang melawan sekutu meletus di mana mana, seluruh pulau Jawa khususnya dan tempat lain di Indonesia karena menolak perintah sekutu untuk melucuti senjata para pejuang kemerdekaan. Dengan tetesan darah para pejuang merampas senjata balatentara Jepang yang kalah perang, lantas mana mungkin para pejuang kemerdekaan dengan sukarela dan kepala tunduk menyerahkan senjata itu kepada tentara Inggris yang dibelakangnya ada gerombolan NICA?
Tentu tidak!
Karena ini bukan masalah kehormatan tapi ini masalah kemerdekaan bangsa.
Bangsa kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan.
Ada pepatah Jawa yang mengatakan, “Sakdumuk bathuk senyari bumi, ditohi pati,” yang artinya “meskipun hanya (secoreng noda di dahi)
atau seujung kuku (tanah), yang direbut, maka akan dibela sampai mati”. Ungkapan ini menggambarkan semangat pantang menyerah dalam mempertahankan harga diri dan tanah air, meskipun hanya sedikit yang tersisa.
Peristiwa dan pepatah Jawa diatas tentu mengingatkan kita tentang bagaimanalah rasanya sakit hati di dada para pejuang Hamas yang bertahun tahun berperang melawan penjajah Israel tiba tiba dari gedung PBB negara-negara Arab tetangganya seperti Mesir, KSA (kerajaan Saudi Arabia), Qatar dan didukung oleh 17 negara dan Liga Arab serta Uni Eropa pada 30 Juli 2025 lalu mendeklarasikan perlucutan senjata Hamas dan menyerahkan senjata tersebut kepada pemerintah otorita Palestina. Agar dapat memberi jalan bagi terwujudnya sulusi dua negara di tanah Palestina. Yaitu negara Israel dan negara Palestina.
Masalahnya adalah para negara deklarator tersebut seolah matanya kero (strabismus), tidak bisa melihat dengan jelas, sehingga hanya berani menekan para pejuang Hamas tetapi tidak berdaya menekan Israel yang sampai detik ini selalu menolak solusi dua negara. Bahkan sejak resolusi PBB no. 181 dikeluarkan pada tahun 1947. Ini timpang bukan?
Hal lain adalah bahwa pemerintah otorita Palestina tidak lebih adalah negara boneka Israel yang dibiayai dan tunduk kepada negara Israel. Mereka tidak punya angkatan bersenjata, kecuali kepolisian. Negara ini tidak ubahnya seperti negara negara yang pernah dibentuk oleh penjajah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia yang baru merdeka. Itu tidak lain seperti:
Negara Indonesia Timur (1946-1950), Negara Sumatra Timur (1947-1950), Negara Sumatra Selatan (1948-1950), Negara Jawa Timur (1948-1950), dan Negara Pasundan (1949-1950).
Kita tahu bahwa tujuan Belanda membentuk Negara negara Boneka tersebut adalah untuk kembali menguasai Indonesia dan mempertahankan kekuasaan tersebut dengan memecah Indonesia menjadi negara-negara bagian kecil. Dengan kata lain, negara boneka adalah negara palsu, faktanya ada tapi hakikatnya adalah kaki tangan penjajah!
Atas berkat rahmat Allah, dengan bersenjatakan bambu runcing dan senjata api rampasan dari bala tentara Jepang, bangsa Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaan, meskipun dengan jalan yang berliku. Dan oleh karena itu bukan tidak mungkin hanya dengan senjata ketepel dan senjata rakitan, Hamas bisa menggerakkan bangsa Palestina lainnya hingga merebut kemerdekaannya. Jadi, jangan turuti kemauan para komprador Israel untuk menyerahkan senjata. Jangan berubah dari singa gurun pasir yang ditakuti menjadi singa ompong yang aumanya semerdu ngeong. Apalagi jadi domba dan ayam sayur yang setiap saat menunggu disembelih. Karena sesungguhnya
Allah tidak menguji hambaNya melebihi batas kemampuannya.
Sebagaimana janji Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 286:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Dengan kata lain, Allah tidak akan memberikan ujian atau beban yang melebihi batas kemampuan seorang hamba untuk menanggungnya.
Wallahu a’lam bi shawab…
(Gaf)