Oleh: Farizal, SEI
Mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam SEBI Program Studi Kepatuhan Syariah dan Fiqh Muamalah
Pengurus Bidang Wakaf, Ekonomi dan Aset Dewan Da’wah Lampung
Dalam forum Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah di Jakarta, 13 Agustus 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pandangan yang mengaitkan pajak dengan zakat dan wakaf.
“Dalam setiap rezeki Anda ada hak orang lain. Caranya, hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan.”
Ucapan itu disambut tepuk tangan meriah para hadirin. Namun, di ruang publik yang lebih luas, analogi tersebut memunculkan beragam reaksi. Ada yang memuji sebagai ajakan moral, tetapi ada pula yang menilai pernyataan itu berisiko mengaburkan batas antara kewajiban syariat dan kewajiban administratif negara.
Konteks Politik Ekonomi 2025
Indonesia sedang menghadapi tekanan fiskal yang signifikan. Defisit APBN 2025 diproyeksikan mencapai 2,9% dari PDB, sementara kebutuhan belanja untuk infrastruktur, subsidi energi, dan jaring pengaman sosial termasuk stabilitas pangan dan makanan bergizi terus meningkat.
Target penerimaan pajak sebesar Rp2.300 triliun ditetapkan sebagai pilar utama keuangan negara. Tetapi publik masih menyimpan kecurigaan: kasus korupsi pajak dari Gayus Tambunan hingga Rafael Alun Trisambodo belum hilang dari ingatan. Kredibilitas otoritas fiskus masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Dalam lanskap inilah muncul upaya pemerintah untuk memaknai pajak bukan sekadar paksaan legal, melainkan juga sebagai kewajiban moral yang sejajar dengan zakat dan wakaf.
Pajak dalam Pandangan Ulama Klasik
Dalam literatur fiqh, para ulama memang memberi ruang bagi negara untuk menarik pungutan di luar zakat, dengan syarat-syarat tertentu.
– Imam al-Mawardi (w. 1058 M) dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah menegaskan: “Apabila kebutuhan negara mendesak dan harta baitul mal tidak mencukupi, maka penguasa boleh membebankan kewajiban tambahan kepada kaum Muslimin sesuai kadar kemampuan mereka, demi menjaga kemaslahatan dan menghindari bahaya yang lebih besar.”
– Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya’ Ulum al-Din memperingatkan keras: “Jika pemungutan pajak dimaksudkan untuk maslahat umum, maka itu termasuk kebaikan; tetapi apabila untuk kepentingan pribadi atau kelompok penguasa, maka itu adalah bentuk kezaliman yang diharamkan.”
Dengan kata lain, pajak memang bisa dipandang sejalan dengan maqashid al-shariah — sebagai instrumen keadilan dan pemerataan — asalkan dikelola dengan adil, proporsional, dan transparan. Sebaliknya, jika digunakan secara zalim, maka hilanglah legitimasi moral dan syar’inya.
Wakaf sebagai Instrumen Publik di Masa Keemasan Islam
Sejarah peradaban Islam memberikan contoh yang kaya tentang bagaimana wakaf mampu menopang kehidupan sosial tanpa membebani rakyat dengan pajak berlebihan.
– Pendidikan: Universitas al-Azhar di Mesir dan Madrasah Nizamiyah di Baghdad bertahan ratusan tahun dari dana wakaf. Guru, murid, bahkan fasilitas belajar ditanggung penuh oleh wakaf.
– Kesehatan: Bimaristan (rumah sakit) di Damaskus dan Kairo melayani rakyat secara gratis, dengan biaya operasional berasal dari kebun, pasar, dan properti wakaf.
– Fasilitas publik: Jembatan, saluran air, dan penginapan musafir dibangun dari aset wakaf, sehingga masyarakat luas merasakan manfaat tanpa campur tangan langsung kas negara.
Dengan model ini, wakaf berperan sebagai subsidi sosial yang mengurangi beban fiskal negara. Inilah yang membuat peradaban Islam mampu menciptakan sistem kesejahteraan tanpa ketergantungan penuh pada pajak.
Perbandingan: Pajak Modern, Baitul Mal, dan Wakaf
Untuk memperjelas posisi ketiganya, mari kita lihat perbandingan berikut:
1. Pajak Modern Indonesia. Basis hukumnya perundangan negara, tujuannya menutup defisit APBN, membiayai belanja pemerintah namun memikiki masalah utama yaitu integritas pengelola, kebocoran, dan ketidakadilan distribusi.
2. Baitul Mal di Masa Kekhilafahan berbasis hukum syariat, dengan zakat sebagai pilar utama, ditambah pungutan darurat (dhara’ib) sesuai kebutuhan yang memiliki tujuan untuk menjamin kebutuhan dasar umat, membiayai jihad, dan menjaga ketahanan negara. Pengelolaannya diawasi khalifah dan para qadhi (hakim), dengan standar transparansi dan akuntabilitas syar’i.
3. Wakaf di Masa Keemasan Islam memiliki basis hukum syariat, berbasis kesukarelaan umat dengan tujuan pendidikan, kesehatan, layanan sosial, dan infrastruktur publik. Memiliki keunggulan mengurangi beban negara, memperkuat partisipasi masyarakat, serta menciptakan sistem kesejahteraan mandiri.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa zakat, pajak, dan wakaf sebenarnya bisa saling melengkapi, tetapi tidak identik. Menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf tanpa menjelaskan perbedaan mendasar bisa menimbulkan kebingungan. Justru yang lebih tepat adalah mengintegrasikan ketiganya dalam kerangka keadilan sosial Islam, dengan syarat keadilan dan transparansi ditegakkan.
Jalan Tengah
Jika pemerintah ingin pajak lebih diterima sebagai instrumen keadilan sosial, maka langkah yang harus ditempuh bukan sebatas retorika, melainkan reformasi nyata:
1. Transparansi: laporan penggunaan pajak harus mudah diakses rakyat, bukan sekadar angka di APBN.
2. Keadilan: distribusi beban dan manfaat pajak harus proporsional, tanpa memberi ruang bagi kelompok istimewa.
3. Sinergi: memperkuat integrasi pajak dengan zakat dan wakaf, sebagaimana dalam sejarah Islam di mana ketiganya saling melengkapi, bukan saling menegasikan.
Menghidupkan kembali wakaf produktif dalam pendidikan, kesehatan, dan layanan publik bisa menjadi solusi jangka panjang. Dengan demikian, beban negara tidak sepenuhnya bertumpu pada pajak, dan masyarakat merasakan manfaat langsung dari kekuatan sosial-keagamaan umat.
Penutup
Pajak, zakat, dan wakaf sama-sama menyentuh persoalan “hak orang lain dalam harta kita.” Namun, zakat dan wakaf telah terbukti mengangkat peradaban Islam ke puncak kejayaan, sementara pajak di Indonesia masih bergulat dengan krisis kepercayaan. Ulama seperti al-Mawardi dan al-Ghazali telah menegaskan: pajak hanya sah jika dijalankan demi maslahat umum dan dijauhkan dari kezaliman.
Maka, tugas besar pemerintah hari ini adalah membuktikan bahwa pajak benar-benar kembali kepada rakyat. Sebab, di mata umat, bukti nyata lebih fasih daripada kata-kata.