Mengenai do’a Nabi Yunus ‘alaihis salam ini juga disebutkan dalam ayat,
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (88)
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anbiya’: 87-88)
Merasa punya karya membuat semangat kan terus membara. Cita cita dan keinginan dirancang dan disusun. Segala daya ditumpakan dalam aksi nyata. Dana tak terhitung, pun dengan pikiran dan bahkan pengorban idealisme pribadi berhenti sementara. Begitulah hakekat hidup ini, saat bisikan setan dapat dikendalikan.
Potensi kebaikan begitu kuat, kita jaga dan dikembangkan menjadi karya yang lebih nyata untuk ditampilkan dalam kehidupan. Keluarga semakin kuat dan menghayati bagaimana peranya dalam masyarakat. Bangunan itu dinawaitukan sebagai uswah bagi pasangan muda keluarga dilingkungannya. Keluarga bervisi dakwah.
Jadi lebih hati-hati, karena tau diri, bahwa kelurga ibarat cermin, tempat me”ngaca”. Bahagia rasanya, jika keluarga yang kita bangun adalah sekolah masyarakat. Gurunya kita, istri, suami, anak anak dan fisik rumah kita, dengan perpustakaan pribadi sebagai pajangan ruang tamunya. Biarkan tanpa kursi dan perabot, asal papan tulis mengisi sudut rungan. Sebagai media pembelajaran, ditambah tembok penuh coretan, sebgai tanda kehidupan.
“Biarkan tembok dipenuhi coretan, tempelan dan bekas kaki”, kataku kepada istri. Itulah tanda bahwa warga rumah ini punya kreasi. Jika tembok diukir spidol ataupun pensil, kadang cat air, itulah karya estetika generasi baru. Kadang bekas kaki dan tangan, ikut menghias warna tembok yang mulai kusam. Seni dan memberi semangat, ada kehidupan dirumah.
Seniorku dalam dakwah pernah mengirimkan catatan rencanaya merintis keluarga dakwah. Menarik dan menstimulus nalar dan hati, ingin untuk ikut mewujudkan. Bahkan, beliau telah menyiapkan lahan tanah di luar kota. Ayolah, kita bangun komitmen bersama, mewujudkan keluarga dakwah.
Tapi itulah, perjalanan panjang keluarga, ada masanya naik dan turun. Gelap dan terang, terjal dan mulus. Itulah keluarga, gangguan selalu ada. Saat tugas dakwah harus dijalankan, ternyata “Mas, beras sudah habis, apa masih ada simpanan uang?”. Ku buka dompetku, yang sebenarnya sudah ku ketahui sudah tak tersisa lagi. Tapi untuk menghibur diri, dan juga husnudhon kepada Ilahi rabbi. Karena ayat menyebutkan, “Aku berikan riski dari arah yang tak terduga”. Dan itu sering terjadi.
Kelemahan diri saat malas berdakwah, karena gangguan tadi membuat kita harus merenung diri. Tentang kita yang menyiapkan diri jadi dai, tapi ada hambatan dari diri sendiri, pasangan hidup dan anak. Saatnya menyelami doa yang pernah dismpaikan oleh Nabiyullah Yunus diatas, Ya Allah yang maha suci, tiada ilah yang berhak disembah selain dirimu, aku termasuk orang yang dhalim. Ampunilah aku, kuatkan diriku dan keluarga menjadi bagian dari penyangga dakwah.
Hingga kematian menjemput kami, istiqomahkan dalam dakwah, dalam suasana keluarga dakwah yang saling mendukung. Hilangkannkeluh kesah dan malas dalam dakwah, karena Engkau pasti akan tanya tentang semuanya.
Jakarta-serang