وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. (QS. Al-Anfal, 33)
Manusiawi saat kita ingin terhindar dari bala’ dan musibah. Artinya sesuatu yang fitrah, sesuatu yang universal warga bumi memiliki keinginan agar terhindar dari sesuatu yang tidak menyenangkan, menyedihkan, menyakitkan dan menghancurkan. Segala upaya dilakukan, dari yang bersifaf material atau fisik.
Dalam memahmi ayat diatas, kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
1 ). Sebagian ulama berdalil dari ayat ini bahwasanya ketika cinta Rasul dan sunnahnya masuk ke hati seorang hamba, sesungguhnya Allah tidak akan memberi azab kepada hatinya, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu jika dengan cinta Rasul saja hati tidak akan diazab, maka bagaimana dengan hadirnya cinta kepada Allah ke dalam hati seorang hamba.
2 ). Diantara keistimewaan orang beriman adalah orang yang paling kuat jiwa dan raganya, maka mereka senantiasa bertawakkal kepada Allah, dan dengan istighfar mereka diampuni dan dijauhkan dari siksaan : { Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun }.
3 ). Jika anda menghubungkan firman Allah dalam hadits qudsy : (( يا عبادي إنكم تخطئون بالليل والنهار وأنا أغفر الذنوب جميعا فاستغفروني أغفر لكم )) “Wahai hamba-hamba-Ku…, sesungguhnya kalian berbuat dosa diwaktu malam dan siang sedangkan Aku mengampuni seluruh dosa, maka mohon ampunlah kalian kepada-Ku niscaya Akan memberi ampun kepada kalian”, dan firman-Nya dalam al-qur’an : { وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ } “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” , dan bahwasanya dalam ayat ini kalimat (istighfar) datang dengan lafazh (fi’il mudhori) yang menunjukkan kata kerja yang terus berlangsung; anda akan mengetahui bahwasanya kita senantiasa butuh kepada permohonan ampun kepada Allah disetiap waktu dan setiap saat, tetapi ada perkara aneh yang menjadi kebiasaan buruk yang disenangi oleh sebagian muslim dalam istighfar namun hakikatnya cara mereka itu akan semakin menjauhkan mereka dari perintah wahyu Allah, maka ayat ini juga dapat menjadi pintu taubat bagi mereka dari perkara-perkara bid’ah dalam masalah dzikir.
4 ). Susunan kata yang datang dalam bentuk (isim) menandakan suatu ketetapan yang senantiasa berlangsung tersus menerus, dan susunan kata yang datang dalam bentuk kata kerja (fi’il) menunjukkan sesuatu yang baru yang juga selalu dalam kelangsungan yang terus berlanjut, dan diantara keindahan ungkapan ini ada pada adalah firman Allah : { وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ } maka datang dalam ayat ini kata dalam bentuk (fi’il) { لِيُعَذِّبَهُمْ } “akan mengazab mereka”; karena keberadaan Rasul pada zamannya adalah penghalang sementara bagi mereka dari azab, kemudian datang pada kata selanjutnya dalam bentuk (isim) : { مُعَذِّبَهُمْ } “akan mengazab mereka” dengan makna yang sama namun bentuk yang berbeda; karena istighfar mereka adalah penghalang dari azab yang selalu berlaku di setiap zaman.
5 ). Sebagaimana yang kita alami saat-saat ini bencana terus melanda negri, sesungguhny peristiwa itu adalah ketetapan Allah agar kita bertaubat memohon ampun kepada-Nya; namu sangat sedikit diantara kita yang mengambil pelajaran darinya dan menghabiskan masa untuk bertaubat dan beristighfar : { وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ }, kesempatan yang sangat berharga untuk kita tunduk memohon kepada Allah; bukankah Allah telah berfiman :
{ وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ 42 فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَٰكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 43 }
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri (42) Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada
mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan (43)” [ Al-An’am ].
Satu tambahan keterangan dijelaskan ustadz Muzayyin Abd Wahab, bahwa keberadaan dai dalam suatu komunitas masyarakat bisa menjadi sebab tertolaknya musibah. Karena amat terkait antara dakwah dan musibah. Karena warga yang menolak dakwah, dalam arti menolak mengikuti ajakan Allah dan Rasul melalui lisan dai, sejatinya sama saja akan memanggil musibah.
Jelas , para dai mengajak taat dan mengajarkan kita agar senantiasa membiasakan diri untuk meminta ampunan kepada Allah. Sang dai yang mengajarinya. Tanda-tanda kiyamat adalah wafatnya para ahlu ilmi. Saat itulah, ajakan kebaikan dan permintaan ampunan tidak ada lagi yang menyuarakan.
Maka jangan berhenti berdakwah, sebagaimana Anda tidak berhenti mendengar, belajar, mengamalkan pesan. Hidupkan kebiasaan untuk selalu beristighfar atas kesalahan dan kealpaan kita. Rawat juru dakwah, karena mereka berjasa menjadi tumbal bencana.