REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pembelajaran terakhir yang bisa diambil dari pandemi global ini perihal investasi dalam sains. Beberapa waktu lalu, presiden ateis Belarus Alexander Lukashenko mencemooh ketakutan mengenai Covid-19.
Ia berpendapat meminum vodka dan mengunjungi sauna akan bekerja sebagai obat untuk virus tersebut. Demikian pula ulama Sunni dan Syiah Pakistan, yang menolak untuk menunda sholat berjamaah.
Di sisi lain, semua orang yang rasional, terlepas dari pandangan agama mereka, menganggap serius virus ini dan mengharapkan para ilmuwan untuk menemukan pengobatan. Namun, berapa besar kemungkinan seorang ilmuwan dari negara mayoritas Muslim akan memberikan hasil? Mungkin sangat kecil.
Bilgli menyebut ada ilmuwan Muslim hebat peraih Hadiah Nobel, Aziz Sancar dari University of North Carolina, atau Adel Mahmoud dari Princeton, yang mengembangkan beberapa vaksin penyelamat jiwa. Tetapi, sayangnya sulit untuk percaya mereka akan memiliki kesuksesan yang sama jika mereka mengejar karir mereka di negara asal mereka.
“Jadi apa yang hilang di negara-negara mayoritas Muslim? Jelas, jawaban untuk pertanyaan ini jauh melampaui ruang lingkup tulisan ini. Tetapi satu kekurangan besar adalah pendanaan dan organisasi studi ilmiah,” kata dia.
Upaya ilmiah hanya dapat dicapai dalam organisasi yang sudah mapan. Namun, ketika seseorang berbicara tentang organisasi ilmiah yang mapan di dunia Muslim, hal pertama yang muncul di benak orang awam adalah Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), pusat penerjemahan dan lembaga akademik Abbasiyah abad kesembilan.
Seolah-olah, Muslim telah berhenti selama satu milenium. Sekarang para pemimpin Muslim menghabiskan ratusan miliar dolar untuk saling bertarung dan menindas rakyat mereka sendiri. Sambil mereka memperkaya industri senjata Amerika, Rusia, dan Prancis.
Kesenjangan ekonomi di dunia tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa mengingat sejarah yang penuh dengan penjajahan, eksploitasi, dan hubungan ketergantungan.
“Saya pikir krisis kesehatan saat ini, dan terutama strategi ‘biarkan orang lain menemukan solusi’, membuat kita lebih keras mengkritik diri kita sendiri,” ucap anggota dewan penasihat internasional untuk British Society for History of Science ini.
Menutup artikelnya, Bilgli menyebut Muslim merumuskan lima rukun Islam sebagai pengakuan, yakni iman, sholat, puasa, membantu orang yang membutuhkan, dan berziarah ke Mekah. Meskipun ada banyak ayat tentang pemikiran yang mendalam, umat Islam belum melihat kontemplasi sebagai pilar agama mereka.
Ia lantas menyebut rumusan terbatas ini ada hubungannya dengan beberapa masalah yang dihadapi di dunia Muslim kontemporer. Ia berharap agar pandemi ini menjadi kesempatan baru dan menuntun umat Muslim untuk merenungkan pelajaran-pelajaran di atas.
Sumber : Republika.co.id