Wahai yang berselimut, Bangunlah lalu berilah peringatan, dan agungkanlah Tuhan-Mu, dan bersihkanlah pakain-Mu …. (QS. Al-Muddasir, 1-4)
Negosisasi antara mahasiswa fakulta dakwah dan kordinator lapangan agak lama. Persoalannya, sang mahasiswa minta agar tempat praktek dakwahnya tidak ddi situ, tapi di sana. Sementara sang kordinator, kekeh. Karena si mahasiswa dipandang mumpuni dan tempat telah disetting cukup lama. Pun, karena mahasiswa yang lain juga sudah di plot, bahkan sudah sama berangkat.
Nego, berbeda dengan “menolak”, walaupun kesimpulannya sama. Memang dalam hidup ini ada beban dalam bertindak dan memilih. hal tersebut dipengaruhi oleh kecocokan hati, kemampuan yang dimiliki dan juga ekspektasi masa depan yang masih perlu dicari. Hal yang biasa dalam hidup untuk memilih.
Tapi hal tersebut tdak berlaku seluruhnya. Dalam hal kepemimpinan, pemimpin memiliki ruang untuk ‘memaksa’ hasil musyawaroh kepada anggota jam’iyyah, lembaga dimana mereka berada. Apalagi jika “ketaatan” itu sudah pernah dibicarakan, disetujui oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Saat mahassiwa mendaftar,, tes masuk dan pertemuan-pertemuan rutin, sudah mengetahui pengumuman ketentuan kuliah dikampus dakwah, bahwa mereka nanti akan ditempatkan di kawasan dakwah, yang penempatanya akan ditentukan nanti.
Kesiapan mental mendominasi sang mahasiswa, bahwa dia dipersiapkan dan ditugaskan untuk menjalankan misi suci, dakwah. Nabi dan Rasul tak pernah menolak pilihan dan ketentuan Allah untuk diangkat menjadi utusan-Nya. Jadi, Nabi dan Rasul, padahal mereka tak pernah memiliki pengalaman sebelumnya. Sebelumnya mereka orang biasa, menjadi orang baik ditengah masyarakat.
Mereka tidak ada, -dalam tulisan sejarah- menego atau menolak tawaran Allah. Mereka hanya menerima saja perintah itu. Mereka juga, memiliki kekurangan sebagaimana manusia yang lain. Bedanya mereka, dijaga oleh Allah sejak awal sebagai manusia ma’shum. Diingatkan dari mula, diberikan bimbingan dengan wahyu dan ilham untuk menjaga existensi kenabian dan kerasulannya.
Para Juru dakwah juga demikian, kesalahannya dihapuskan dengan cara meminta ampun, meminta petunjuk. Mereka juga diperintahkan untuk selalu dan terus mencari ilmu dan mengambil pelajaran dari Rasul panutannya. mengapa? agar jalan dakwah lancara dan bermanfaat. Allah tidak membebani hambanya, apa yang tidak mampu.
Dipilihnya kita untuk mengambil peran sebagai juru dakwah, hendaknya disikapi sebagaimana sikap para NAbi dan Rasul menerima tugas. “Tapi ilmu dan skill belum ada dan cukup”, begitulah argumen dibangun oleh mahasiswa saat negosiasi dengan kordinator dakwah. Padahal, sang korditaor juga ‘bingung’ jika sang dai benar-benar menolak, siapa lagi yang akan dikirim dan ditempatkan di zona tersebut.
Ingatlah wahai dai ilallah, bahwa obyek dakwah jangan hanya dipahami bahwa mereka memiliki kesamaan dalam pengetahuan dalam kecakapan hidup. Banyak obyek dakwah yang mereka hanya dapat kita ajak untuk sholat berjamaah di Masjid, karena waktu yang lainya mereka gunakan untuk berkebun, dll. Kemampuan ilmu dan skil selama kuliah serta training-training masa pendidikan, sejatinya sudah cukup sebagai modal. Apalagi, tidak sekedar itu, sang dai telah menyipkan dengan matang dan penuh kesadaran.
Rasulullah juga seorang manusia, Ia berada dipasar dan memakan sebagaimana manusia lainya makan. Ia menerima pesan sebagai Nabi dengan kesadaran, bahwa akan ada resiko. Tapi janji Allah, tentang kemudahan, janji kemenangan dan nikmat kesabaran, dapat menghilangkan keraguan akan ketidak mampuan. tugasnya hanya menyampaikan pesan. Tidak sampai pada menentukan keberhasilan atas dakwahnya.
Tentu menyampaikan hal-hal yang baik dan bermanfaat, masa ditolak. Terima saja, tugas mengemban dakwah. Saatnya mengambil dakwah sebagai forum latihan dan interaksi dengan masyarakat. Kapan lagi? Masih ragu-ragu untuk mengambil tugas dakwah. Coba dan coba.
PondokRanggon