“Assalamu’alaikum ustadz, saya ….Pengabdian di pedalaman.
Teruskan ana baru nikah, Apakah masih bisa ana di pindah saja kedaerah Aceh..atau gmna ustadz ???. Mohon maaf ustadz…Ana minta tolong ustadz. Mohon ana dipindah saja pengabdian nya ke …
Soalnya ana karena sudah beristri ustadz…kalau belum insyaallah ana siap kepedalaman..Ana Mohon maaf ustadz”
Kujawab dengan berat hati, pertanyaan yang hampir sama juga diajukan.
Ini jawabanku.
“Justru karena baru nikah, kepedalam lebih enak. Nanti punya cerita ttg pengorbanan, keberanian, keihlasan kepada anak2. Coba kalo anak antum tanya, “kemana ayah dulu berdakwah?”. “Kepedalaman nak”, subhanallah ayahku pemberani. “Jadi aku lahir di tempat dakwah ayah”, pastilah kebanggan seorang ayah, ibu dan anak akan memperkuat perjalanan dakwah yang akan datang. Toh kalteng masih NKRI dan ini juga satu media utk mendidik pasangan hidup. Andalah pemenangnya”.
Motivasi diatas saya sebutkan tidak dalam rangka menghilangkan motivasi sesungguhnya dalam melaksanakan dakwah, yaitu mencari ridho Allah swt. Ini semacam motivasi edukasi, mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini haruslah diisi kebaikan demi kebaikan sebagai warisan bagi generasi yang akan datang. Jangan sampai, sejarah manusia justru membuat generasi pelanjut menjadi pesimis dan memunxulkan penyesalan.
Nawaitu dakwah harus tetap dalam koridor syariat, karena “Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab adia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” (Diriwayatkan oleh dua Imamnya para ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi dalam dua kitab shahih mereka, yang keduanya merupakan kitab yang paling shahih diantara kitab-kitab yang ada.).[1] Diriwayatkan oleh al Bukhari (1) dan Muslim (1907).
Jangan sampai motivasi bergeser dari pusat rodanya, bukan karena wanita, harta, tahta, dan kesohoran. Adapun sentuhan manusia, soal kisah kisah diatas, sebatas dialog imajiner manusia terhadap fenomena naik turunya daya semangat insan. Semacam, reward dalam dialog edukasi. Semoga, kita tetap menjaga niat yang paling inti.
Selamat berdakwah, Allah akan menguatkan Anda