لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’d, 11)
Beban berat seorang juru dakwah, sejatinya bukan pada bagaimana ia membuat, merencanakan, melaksanakan aksi lapangan dalam mengubah masyarakat. Mencarikan jalan keluar dan mempertahankan kebaikan-kebaikan warga. Bukan itu yang berat.
Sampai ada yang mengingatkan, perjalanan dakah ini sudah 10 tahun. Sudah banyak generasi yang diterjunkan dilapangan. “Bikin dong kurikulumnya, masa dsrai dulu cuma mengajarkan Iqra, wudhu, sholat, dll”, kata seorang aktivis dakwah dalam pesan singkatnya. Betul juga, bagaimana kurikulum dibuat untuk tugas dakwah.
Tapi saya merasa terhibur saat Pak Natsir menyebutkan dalam bahasan “berdakwah melalui jalur politik, dan berpolitik melalui jalur dakwah. Anda mengajarkan al-Quran kepada masyarakat sejatinya Anda telah berpolitik”. Laa! Kok bisa. Ya karena al-Quran adalah sumber peradaban, banyak nilai yang bisa digali, didalamnya malah ada hidayah dan petunjuk, juga pedoman dan sistem kehidupan. Pokok-pokok ide tentang perubahan dikenalkan dalam ayat-ayatnya.
Mengubah masyarakat tidak dengan pendekatan kekuasaan, tetapi melalui persiapan pembinaan jiwa dan perilaku. Diajarilah membaca ayat-ayat suci, sebagaimana Rasul diajarai Jibril dengan “Iqra”. Membaca adlah sumber pengetahuan, selain akan membantu memahami siapakah pencipta alam ini. Setelah diajaklah Nabi untuk bangun, menyingkap selimut dan bersuci, agar mampu mengagungkan Rab-nya.
Pendidikan masyarakat jangan dikelola layaknya sekolah formal yang kaku, pakai RPS dan lain lain. Didiklah mereka dengan pendekatan yang sederhana, maklum masyarakat adalah entitas umum yang macam macam jenis, sifat dan kemampuanya. Jika kelas masyarakat dibuatkan kurikulum yang detail dan khusus, kelihatanya malah membuat komunikasi malah macet. Terlalu berat dan ruwet untuk mencapainya.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat dialektika komunikasi yang sangat banyak. Ada orang yang senang bicara, kalo sudah ngomong susah dihentikan kecuali saat minum. Ada yang pendiam, jarang bicara, tapi sangat bersemangat jika diajak kerja nyata. Seorang dai terkoneksi dan terhubung dengan banyak kalangan yang macam-macam. Alasannya berbeda-beda. Seorang warga terpaksa mengeluarkan pendapat bukan karena keinginan, tapi karena terpaksa harus ngomong. Mengapa? Karena -mungkin dirumah- tidak ada kesempatan untuk berbicara.
Adapula kondisi umat yang suka basa-basi saat berdialog. Ada juga yang serius tapi disampaikan dengan cara jenaka dan ada pula yang serius tapi bertujuan menakut-nakuti. Ada 1001 masalah lapangan yang cukup berat, jika harus dibuatkan kurikulumnya. Bobot kurikulum yang paling perlu adalah aspek tauhid, ibadah dan akhlak. Tiga pokok diatas adalah stimulus pembangunan umat sebagai visi kehidupan.
Jika boleh mengusulkan, kelas dakwah di masyarakat, kurikulumnya cukup al-Quran dan Hadist dalam makna yang seluas-luasnya. Jangan berkomentar negatif, jika sang dai mengajar cara baca al-Quran, bersuci dan shalat. Tapi lihatnya bagaimana hasil dan proses pembinaan otu jalan. Kita harus perhatikan, toh muridnya sudah berganti. Yang diajarkan sama, tapi yang menerima telah berganti, diganti oleh adik kelasnya.
Karena pembinaan warga, juga memerlukan suasana lain yang lebih kondusif. Angkatan pertama dididik ditempat yang cocok. Toh, masyarakat juga akan berkembang dengan sendirinya, jika pondasi dasarnya telah kokoh. Sudah banyak, selama perjalanan 10 tahun dakwah ini yang ditorehkan, asal kita melihatnya dengan leboh jernih, pelan-pelan dan penuh harap.
Satu lagi yang amat berat dalam proses pembinaan, yaitu Menjaga Eksistensi Juru Dakwah. Ini program yang sejatinya harus disiapkan kurikulumnya, karena manusia dalam hal ini jamaah juga terus berkembang. Ketahanan juru dakwah dengan posisi tetap menjadi dai ilallah, lebih serius untuk difikirkan dibanding urusan yang lainya. Karena ia adalah poros dari aktivitas dakwah otu sendiri.
Ayat diatas, sangat tepat bagaimana para Malaikat ikut serta dalam proses perubahan itu. Mereka menjaga dan mengawai saat terbit dan saat tenggelam. Membuat reportase sebagai bentuk laporan kepada Allah.
Dan setiap manusia memiliki malaikat-malaikat yang silih berganti untuk menjaganya, mereka menjaganya dengan perintah Allah dan menghitung segala amal perbuatannya, baik itu amal kebaikan maupun keburukan. Allah tidak mengubah kenikmatan yang diberikan kepada suatu kaum, melainkan jika mereka mengubah perintah Allah dengan melanggarnya. Dan jika Allah hendak menguji suatu kaum dengan musibah maka tidak ada yang mampu menghalangi hal itu, dan mereka tidak memiliki penolong selain Allah dalam mencari kebaikan atau menjauhi keburukan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Para malaikat malam dan para malaikat siang silih berganti menjaga kalian, dan mereka berkumpul pada shalat ashar dan shalat subuh. Kemudian malaikat yang menjaga pada malam hari naik ke langit, lalu Allah menanyai mereka -dan Allah lebih mengetahui tentang mereka-: “Bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab: “Kami meninggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami mendatangi mereka ketika mereka dalam keadaan shalat.” (Shahih Bukhari 13/426 no. 4729, kitab tauhid, bab firman Allah “تعرج الملائكة والروح إليه” dan diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shahihnya 1/439, kitab masjid-masjid, bab keutamaan shalat subuh dan ashar no. 632).
Memang target harus dibuat, dikontrol dan diperhatikan. Tapi dala kegiatan di masyarakat, konsep pembinaannya melalui pendekatan pendapingan dengan model dialektika. Ngobrol dan bercengkrama. Tidak kaku dan boleh jadi tidak urut, tapi melihat maslahat dan manfaat. Ayat diatas menginspirasi aksi aksi lapangan lebih sophisticatet, berkelanjutan dan tau diri siapa kita. Maklum
PondokRanggon
DaiKampungKota